Ave Maria
Cerpen Idrus
Malam bulan purnama raya. Kami duduk di beranda depan. Ayah dan ibu bercakap sebentar-sebentar. Tapi percakapan itu sudah lancarnya rupanya. Keindahan alam yang demikian, mengenangkan kami kepada suatu kejadian. Perpisahan dengan Zulbahri. Zulbahri yang dengan secara aneh berkenalan dengan kami. Bagaimana lekatnya hati kami kepada Zulbahri ternyata, waktu ibu berkata, “Kasihan Zulbahri. Entah di mana dia sekarang. Serasa anak sendiri.”
Masih jelas teringat oleh kami, hari perkenalan kami dengan Zulbahri.
Aneh betul. Kami sedang duduk-duduk pula di beranda depan. Hari panas alang kepalang. Adik Usup mempermain-mainkan ujung kebaya ibu, sampai kebaya itu robek dibuatnya. Hampir-hampir ia menangis dimarahi ibu.
Tiba-tiba ia tertawa gelak-gelak, sambil menunjuk ke tengah jalan. Kami menoleh dan tampaklah kepada kami seorang laki-laki, sedang asyik membaca buku, sambil berjalan juga. Pakaian orang itulah yang menerbitkan tertawa adik Usup. Baju jasnya sudah robek-robek, di bagian belakang tinggal hanya benang-benang saja lagi, terkulai seperti ekor kuda. Mendengar tertawa adik Usup, ia tertegun, berhenti dan melihat kepada kami. Ia ikut tertawa. Sudah itu ia seperti orang berpikir dan tak lama kemudian, ia masuk ke dalam pekarangan kami. Ia member hormat kepada ayah dan ibu, lalu duduk di sebelah kursi dekat meja bundar di tengah beranda itu. Ibu sudah ketakutan saja. Tanya ayah, “Tuan mencari saya?”
Masih jelas teringat oleh kami, hari perkenalan kami dengan Zulbahri.
Aneh betul. Kami sedang duduk-duduk pula di beranda depan. Hari panas alang kepalang. Adik Usup mempermain-mainkan ujung kebaya ibu, sampai kebaya itu robek dibuatnya. Hampir-hampir ia menangis dimarahi ibu.
Tiba-tiba ia tertawa gelak-gelak, sambil menunjuk ke tengah jalan. Kami menoleh dan tampaklah kepada kami seorang laki-laki, sedang asyik membaca buku, sambil berjalan juga. Pakaian orang itulah yang menerbitkan tertawa adik Usup. Baju jasnya sudah robek-robek, di bagian belakang tinggal hanya benang-benang saja lagi, terkulai seperti ekor kuda. Mendengar tertawa adik Usup, ia tertegun, berhenti dan melihat kepada kami. Ia ikut tertawa. Sudah itu ia seperti orang berpikir dan tak lama kemudian, ia masuk ke dalam pekarangan kami. Ia member hormat kepada ayah dan ibu, lalu duduk di sebelah kursi dekat meja bundar di tengah beranda itu. Ibu sudah ketakutan saja. Tanya ayah, “Tuan mencari saya?”
Banyak lagi pertanyaan ayah, tapi semua dijawab dengan suara yang halus sekali, sehingga tak jelas kedengaran kepada kami. Segala perkakas rumah kami yang ada di beranda depan itu, diperhatikannya satu persatu. Sudah itu matanya tertambat kepada majalah-majalah yang disimpan ayah di bawah meja bundar itu.
Diusai-usainya majalah itu. Diambilnya sebuah, dimasukkannya ke dalam sakunya. Buku yang dibawanya ditinggalkannya di atas meja, lalu ia pergi pula.
“Gila”, kata ibu.
Perlahan-lahan ayah pergi ke meja bundar, diambilnya buku orang laki-laki itu, dan sesudah beberapa lama diperhatikannya, katanya, “Hm, buku filsafat. Orang pintar juga barangkali.”
Keesokan harinya ia datang pula kembali. Diambilnya pula majalah yang lain, yang lama diletakkannya kembali ke tempatnya. Setiap hari ia datang. Dan setiap kali ia datang, ada saja perubahan yang membaikkan tampak pada dirinya. Bajunya tak lagi sekotor yang dulu. Sudah keluar beberapa perkataan dari mulutnya. Begitulah kami mengetahui berturut-turut, bahwa ia dulu seorang pengarang. Sungguh pun belum kenal umum, tapi bukunya banyak juga yang diterbitkan. Keinginan kami hendak mengetahui lebih banyak lagi, tak dipenuhinya.
Pada suatu hari kata ibu, “Sudah lama Zulbahri tidak datang-datang. Sudah lebih seminggu canggung pula aku.”
Dan tak berapa lama disambungnya, sambil menunjuk ke jalan, “Ha, itu dia.”
Kami menoleh kea rah jalan. Memang Zulbahri itu. Seperti biasa ia tertawa masuk, lalu duduk. Segala perbuatan Zulbahri bagi orang yang baru mengenal dia, aneh. Tapi bagi kami sudah biasa pula.
Zulbahri menarik nafas panjang-panjang.
Tanya ibu, “Mengapa sudah lama tak datang-datang, Bahri?”
Sangat terkejut kami, waktu Zulbahri berkata terus menerus, tak berhenti-henti. Belum pernah kejadian yang demikian. Seakan-akan ceritanya itulah jawaban atas pertanyaan ibu.
Matahari sudah mulai condong ke Barat. Sebentar lagi ia akan hilang dari pandangan mata. Lampu di beranda depan sudah dipasang ibu. Zulbahri terus juga bercerita. Kami mendengar dengan sepenuh-penuh perhatian.
Kami bahagia. Aku dengan istriku. Sudah delapan bulan kami kawin. Wartini belum juga mempunyai tanda-tanda, ia akan segera mendapat anak.
Sungguhpun begitu cinta kami sedikit pun tak berkurang. Karanganku bertambah lama bertambah mendapat perhatian umum dan ahli-ahli. Tapi aku selalu dalam ketakutan saja. Terasa kepadaku, bahwa kebahagiaan yang demikian takkan selama-lamanya. Nanti tentu akan datang masanya, bahagia itu bertukar dengan kesusahan dan sengsara. Tapi dari mana datangnya kesusahan itu, itulah yang menjadi pertanyaan besar bagiku.
Sungguhpun begitu aku yakin, bahwa kebahagiaan itu takkan lekas betul meninggalkan kami. Kami baru delapan bulan saja kawin. Setiap hari kucoba menghilangkan perasaan takut itu. Hampir-hampir berhasil, hamper-hampir aku berpendapat, bahwa bahagia itu takkan meninggalkan kami buat selama-lamanya. Hampir-hampir tak masuk ke dalam akalku, aku, aku nanti akan menderita kesengsaraan. Tapi pada waktu itu pulalah mulai pertukaran bahagia kami dengan sengsara yang akan datang. Aku menerima surat dari Syamsu, adikku, dari Shonanto. Dua hari dua malam suratnya itu kusimpan dalam sakuku, kubawa ke mana-mana. Surat yang menjadikan pikiranku kacau balau, pekerjaanku terbengkelai.
Matahari sudah lama terbenam. Bulan purnama mulai naik perlahan-lahan, memancarkan sinarnya, melalui daun-daun jarak di pekarangan, menerangi pekarangan itu. Zulbahri terus juga bercerita, kadang-kadang lambat-lambat, kadang-kadang cepat-cepat.
Dua hari dua malam surat itu kubawa ke mana-mana. Pada malam ketiganya kami sedang duduk di ruang dalam rumah. Maksudku tetap sudah hendak membicarakan isi surat itu dengan Wartini. Tapi lidahku kaku. Kalimat-kalimat yang sudah kuapal-apalkan untuk dikatakan kepada Wartini, hilang dari ingatanku. Aku berjalan ke jendela. Mataku memandang ke langit bertaburan bintang. Hatiku mulai terbuka kembali, waktu melihat keindahan alam itu.
Wartini, indah betul mala mini. Seperti pada malam pertemuan kita benar. Lihatlah ke bintang yang berleret tiga buah itu.
Entah karena apa, perkataanku itu menimbulkan syak wasangka dalam hati Wartini.
Adakah yang hendak kubicarakan dengan daku, Zul? Ceritakanlah.
Perkataan Wartini menambah semangatku untuk menguraikan segala-galanya kepadanya. Begitulah kami termenung keduanya, setelah kuceritakan bahwa Syamsu, adikku hendak pindah dari Shananto ke Jakarta dan hendak tinggal bersama kami. Kuterangkan pula, bahwa aku tak dapat meno9lak. Jika kutolak, aku dipandang rendah oleh orang kampungku. Wartini pun mengerti tentang hal itu. Dengan tentang bahayanya Syamsu tinggal bersama kami, terus terang pula kuuraikan kepada Wartini.
Takutmu berlebih-lebihan, Zul. Aku cinta kepadamu. Syamsu hanya teman mainku di waktu kecil. Cinta demikian tak masuk ke dalam hati. Cinta monyet, kata orang.
Perlu pula kuterangkan, bahwa selama aku kawin dengan Wartini, sekali-sekali adi timbul perasaan kepadaku, bahwa perbuatanku kepada Syamsu salah adanya. Syamsulah yang sebenarnya berhak mendapat Wartini. Anehnya, sungguhpun Wartini menerangkan, bahwa ia hanya menyintai aku sendiri, tapi hatiku terus berkata, bahwa Wartini lebih dekat kepada Syamsu. Aku merasa diriku sebagai seorang perampok.
Syamsu datang dari Shonanto. Katanya ia kurang senang sekolah di sana. Pernah ia berkelahi dengan seorang guru besar. Sebab itu ia akan mencoba untungnya di Sekolah Tabib Tinggi di Jakarta.
Mintakan saja aku dapat lulus di sini. Nah, sudah itu orang akan memanggil aku “dokter Syamsu”.
Tak ada yang dapat dicela tentang pergaulan Syamsu dengan Wartini. Keduanya hormat menghormati. Hatiku jugalah yang berkata-kata, bahwa aku adalah seorang perampok. Hatiku berkata, aku berdosa terhadap Syamsu. Dan kata hatiku, cinta Wartini tak lama lagi akan timbul kembali terhadap Syamsu.
Perasaan-perasaan yang demikian menjadikan daku menjadi sangat curiga. Segala percakapan Wartini dengan Syamsu kupikir-pikirkan, kalau-kalau ada mempunyai arti yang lain. Dengan sering pula kudengarkan percakapan orang itu dari balik dinding. Tapi sekalipun belum pernah aku mendengar perkataan Syamsu yang melewati batas. Syamsu tetap menjaga kesopanan.
Bulan semakin terang juga. Dari jauh kedengaran bunyi seruling, sayup-sayup sampai. Daun-daun jarak berdesir-desir ditiup angin malam.
Mereka, Wartini dan Syamsu sering bermain music bersama. Wartini bermain piano dan Syamsu bermain biola. Sejak datang Syamsulah, Wartini mulai bermain pianokembali. Sekali, malam-malam, Wartini dan Syamsu memainkan lagu Ave Maria, karangan Gounod. Aku waktu itu sedang sakit kepala sedikit dan tidur saja dalam kamar.
Asyik betul mereka bermain, bunyi biola Syamsu sangat mengharukan hati. Pertengahan lagu itu mengenangkan kepasa seseorang yang hamper putus asa, memekik kea rah langit, meminta pertolongan dari yang Maha Kuasa. Mereka bermain penuh perasaan… Dan sesudah habis lagu itu, kedengaran olehku sedu orang menangis. Terdengar pula Syamsu lekas-lekas meletakkan biolanya di atas piano.
“Mengapa menangis, Tini? Engkau bersedih?”
“Aku terkenang kepada masa silam. Pernah kita memainkan lagu ini dulu bersama-sama.”
Ya, waktu itu takkan dapat kulupakan selama-lamanya, Tini. Waktu itu aku sedang penuh dengan cita-cita yang sangat tinggi.”
“Dan semua cita-cita itu kandas, bukan Syam? Engkau tak meneruskan pelajaran biolamu.”
“Ya… dan gadis yang kucintai hilang darin pelupuk mataku. Hatiku berdebar-debar.” Kedengaran sedu Wartini bertambah-tambah.
“Tapi, mengapa engkau, menangis, Wartini.”
Pertanyaan Syamsu itu kuulangi pula sendiri perlahan-lahan dan telingaku kupasang baik-baik. Halus sekali kedengaran suara Wartini.
“Syam, dapatkah seorang perempuan mencintai dua orang laki-laki sekali?”
“Tidak, Tini. Hanya seorang ibu kepada anak-anaknya dapat. Engkau sehat, Wartini. Hanya aku…”
Perkataan Syamsu tak diteruskan. Tapi aku mengerti sudah. Mataku berkunang-kunang. Pikiranku kacau.
Zulbahri melihat ke bulan purnama yang bertambah lama bertambah terang juga. Kami menahan nafas kami sejurus. Cerita Zulbahri sangat mengharukan hati kami. Di jalan tak ada orang lagi hilir mudik. Di sekeliling rumah sepi hening. Bunyi seruling masih kedengaran dari jauh, lagu bersedih. Tinggi sekali bunyi seruling itu, seakan-akan pemainnya hendak mencari penghibur sedih jauh dari dunia ini.
Kukenakan pyamaku. Kuberanikan hati. Perlahan-lahan aku ke luar mendapatkan syamsu dan Wartini. Melihat aku, Wartini terkejut, gugup katanya, “Kukira engkau sudah tidur, Zul.”
“Masakan aku dapat tidur, mendengarkan music yang semerdu itu.”
“Tapi mengapa engkau menangis, Tini? Karena music barangkali? Dalam roman sering kubaca, orang menangis karena music. Baru sekarang aku tahu, hal itu mungkin juga kejadian dalam kehidupan sehari-hari.”
Sejurus lamanya kami berpandang-pandangan. Sekali lagi kuberanikan diriku dan tegas kataku, “Semua kuketahui, Tini…”
“Tidak, Syam, bukan maksudku hendak mengatakan, kelakuanmu kurang senonoh. Tapi aku hanya hendak mengatakan bahwa perasaan hatiku benar adanya Wartini adalah hakmu.”
Sudah itu aku meninggalkan kota Jakarta. Tiba aku di malang. Di sana kucoba menghilangkan ingatan kepada Wartini. Tapi tak dapat. Badanku bertambah lama bertambah kurus juga. Bajuku tak kuhiraukan lagi. Bercakap pun sedapat-dapatnya kuhindari. Tetangga-tetangga menyangka pikiranku sudah bertukar. Aku masuk ke dalam rumah sakit. Tiga bulan aku di rumah sakit. Aku keluar kembali. Kata dokter aku tak boleh pergi ke Jakarta. Sedapat-dapatnya harus meninggalkan pulau jawa. Tapi perkataan dokter tak kudengar. Seminggu sudah itu aku sudah ada di Jakarta. Maksudku hendak meminta Wartini kembali kepada Syamsu. Di tengah jalan sering betul pikiranku bolak-balik. Sekali-sekali ada pula timbul putusan hendak membunuh Wartini dan Syamsu dan aku sendiri sekali.
Di sini Zulbahri berhenti sebentar. Tak seorang juga dari pada kami, yang berani menyela cerita Zulbahri. Dikeluarkannya sapu tangannya, dihapusnya air matanya yang mengenai pipinya. Kedengarannya susah ia hendak meneruskan perkataannya.
Tiba di Jakarta aku terus menuju rumah Syamsu dan Wartini. Dari jauh sudah kudengar bunyi piano dan biola,… lagu Ave Maria. Aku tahu mereka sedang mengenang zaman silam, kebahagiaan mereka. Piano berbunyi cepat sekali, sedang biola mendengarkan Andante yang sesempurna-sempurnanya. Seperti pencuri kudekati rumah itu. Dari jendela kaca kumenengok ke dalam rumah. Pandanganku tertambat kepada Wartini semata. Kelihatannya mukanya berseri, badannya agak gemuk sedikit… Wartini sedang hamil. Sungguh berbahagia engkau Wartini. Tidak, tidak, aku takkan mengganggumu. Teruskanlah lagu Ave Maria itu, lagu bahagiamu berdua.
Kami terharu dan kasihan mendengarkan cerita Zulbahri itu. Ia menengadah ke langit bertaburan bintang itu. Air matanya tergenang.
Aku lari kembali dari rumah yang sedang diliputi bahagia itu. Tiba di hotel aku menangis, ya, menangis aku… keadaan keuangan tak mengizinkan lagi untuk tinggal di hotel lama-lama. Aku pergi tinggal di sebelah rumah di sebelah gang kecil. Yang menjadi hiburan bagiku tinggal hanya buku-buku lagi. Aku selalu mencari, mencari tempat jiwaku dapat bergantung. Sekian lama aku mencari, tapi sia-sia belaka. Aku menjadi tak acuh kembali kepada diriku. Pakaianku tak kuhiraukan pula. Kadang-kadang pakai sepatu, kadang-kdang tidak. Surat-surat kabar tak pernah kubaca lagi. Karangan-karangan tentang berkurban untuk tanah air kuejekkan saja. Kurbanku lebih besar lagi dari mereka yang berjibaku.
Angin malam mulai meresapkan pengaruhnya. Badan berasa dingin. Bulu-bulu tangan berdiri tegak karena dingin.
Begitulah keadaanku sampai waktu kita berkenalan buat pertama kalinya. Aku heran sekali. Waktu itu aku melihat majalah-majalah di bawah meja bundar ini, entah dari mana timbul keinginanku hendak membaca cerita pendek yang selalu ada dalam tiap-tiap majalah itu. Kuakui, sangatlah besar pengaruhnya cerita-cerita pendek itu kepada jiwaku. Baru aku insaf, bahwa kehidupanku yang dulu-dulu itu semata-mata berdasarkan kepentingan diri sendiri belaka. Aku sangat menyesal.
Angin malam mendesir-desirkan daun-daun jarak. Bulan semakin terang. Zulbahri berhenti bicara. Dari kantongnya dikeluarkannya sehelai kertas, diberikan kepada ayah. Air the yang disediakan ibu dia tak disinggung-singgungnya. Ia berdiri, lalu meninggalkan kami
Lipatan kertas dibuka oleh ayah. Dibacanya. Dan perlahan-lahan katanya, “Ia telah masuk barisan jibaku.”
Kami ketiga-tiganya termenung sebentar. Tanya ibu. “Karena affair percintaan itu?”
Lekas ayah menggelengkan kepalanya, dan tegas katanya, “Tidak, Lastri. Bacalah sendiri suratnya ini. Semua terasa keluar dari hati yang tulus ikhlas hendak berkurban untuk nusa dan bangsa. Bacalah pada penghabisan suratnya: ini adalah sebagai pembayar utanku kepada tanah air yang sudah sekian lama kulupakan karena mengingat kepentingan diri sendiri.”
Pada malam seperti ini pula Zulbahri berpisah dengan kami buat selama-lamanya. Siapa yang takkan terkenang kepada kejadian itu. Kami melihat ke bulan purnama raya, dengan segala kenang-kenangan kepada Zulbahri yang telah dapat memperbaharui jiwanya. Dari radio umumkedengaran lagu Menuetto in G dari Beethoven.***
Download cerpen ini KLIK di sini
3 comments:
ma kasih teman. aku sdh cari ke mana-mana cerpen ini ga besua. eh ternyata ada di blog ini. maju terus sastra indonesia
salam sastra
Thanks banget, akhirnya ketemu.
Saya kira karya sastra indonesia ga ada di world wide web. ah akhirnya nemu disini via blogindonesia.
Sekali lagi makasih
xpresi1.wordpress.com
tolong dong di jelasin yang pas dibagian mana ciri-cirinya yang sesuai dengan angkatan 45nya tolong bntuannya ?
Post a Comment