Selasih : Wanita Novelis Indonesia Pertama
Korrie Layun Rampan
Selasih merupakan nama samaran Sariamin Ismail. Ia dilahirkan di Talu, Sumatra Barat, 31 Juli 1909. Setelah lulus SD 5 tahun (Gouvernement School) pada tahun 1921, ia kemudian melanjutkan pendidikan di sekolah guru (Meisjes Normaal School) dan tamat tahun 1925. Sejak itu ia terjun di dunia pendidikan. Pada tahun 1925 ia mengajar di Bengkulu dan tak lama diangkat sebagai kepala sekolah. Pada tahun 1930 ia dipindahkan ke Padangpanjang, lalu tahun 1939 dipindahkan ke Aceh. Di daerah ini hanya bertahan dua tahun. Sejak 1941 ia mengajar di Kuantan dan sampai tahun 1968 ia terus berkiprah di dunia pendidikan di daerah Riau. Pengalamannya mengajar sejak tingkat SD hingga SMU memberi warna tersendiri di dalam kehidupannya selama bertahun-tahun. Ia juga pernah menjadi Ketua Jong Islamieten Bond Dames Afdeling Cabang Bukittinggi (1928-1930), dan anggota DPRD Riau (1947- 1948).
Sejalan dengan pekerjaannya sebagai guru, Selasih giat dalam pertunjukan sandiwara bertendens pendidikan. Ia mementaskan sejumlah sandiwara di beberapa kota di Riau seperti Kuantan, Tanjung Pinang, Pekanbaru, dan lain-lain.
Menulis di zaman penjajahan tidaklah mudah. Selain berbagai pembatasan yang dikenakan terhadap karya tulis, juga pengarangnya setiap saat harus siap mempertanggungjawabkan pikiran-pikiran yang diuraikan di dalam tulisannya itu. Sariamin yang aktif sebagai anggota organisasi politik Indonesia Muda dan Gerakan Ingin Merdeka merasakan bahwa dirinya selalu berada di bawah ancaman jika ditemukan bukti melakukan perlawanan terhadap rezim penjajah. Ia menunjukkan, sejumlah temannya yang aktif dalam perkumpulan di bawah tanah seperti Aziz Chan, Djafar Djambek, Alwi Luwis, dan lain-lain harus mengakhiri hidup di ujung bedil, atau selama bertahun-tahun mendekam di balik jeruji. Pada zaman itu menjadi pengarang sekaligus sebagai pejuang untuk kemerdekaan tanah air. Untuk itulah ia menggunakan sejumlah nama samaran, agar dapat terhindar dari penciuman pihak keamanan (polisi) kolonial. Beberapa nama samarannya ialah Sekejut Gelingging, Seri Tanjung Dahlia, Sen Gunting, Seri Gunung, Bunda Kanduang, Mande Rubiah, Ibu Sejati, Seleguri, dan Selasih.
Nama Selasih ditemukannya secara tak sengaja pada saat ia mulai dihinggapi mimpi untuk menjadi pujangga pada tahun 1932. Pada tahun itu ia selesai menulis novel Kalau Tak Untung. Ia merasa ragu, dengan nama apa novel itu diterbitkan. Pada awalnya ia ingin menggunakan nama Ibu Sejati, akan tetapi nama itu sudah dikenal luas sebagai nama seorang penulis yang bersikap melawan kebijakan pemerintah kolonial. Nama lainnya Seleguri juga sudah dikenal. Dalam hubungan itu Darman Moenir mencatat penjelasan Selasih lewat ceramah sastra di Taman Ismail Marzuki, 17 September 1986 (lihat Horison, No. 11, Th. XXI, November 1986, him. 385-386) di mana, "Sebelum mengirim Kalau Tak Untung ke Betawi (Jakarta), cukup lama Sariamin berunding dengan diri sendiri. Pada mulanya dia ingin menggunakan nama Ibu Sejati. Sayang, nama ini terlanjur dikenal sebagai yang suka melawan dan menentang tindakan pemerintah (Belanda) sehingga Suska—redaktur utama Persamaan, jadi pusing; terpaksa membayar denda! Namun, Seleguri pun terkenal (di Medan) sebagai penulis Lukisan Dunia dan Sunting Melayu." Setelah memilih sejumlah nama samaran, akhirnya ditetapkan nama Selasih, yaitu nama "sejenis tumbuh-tumbuhan yang keadaannya hampir sama dengan seleguri: tak berguna, bunganya pun amat kecil tak berseri; dicari hanya ketika demam untuk dijadikan obat."
Novel Kalau Tak Untung terbit pada tahun 1933. Aman Datuk Madjoindo memberi komentar lewat radio—beberapa hari setelah novel itu diluncurkan—bahwa telah lahir pujangga putri pertama di Hindia Belanda. Para pengarang lainnya seperti Armijn Pane, Kasoema Datuk Pamuntjak dan lain-lain memuji keberhasilan Selasih, dengan menyebutkan ia sebagai pionirdalam penulisan novel dari gendernya.
Mungkin ada yang ingin tahu sejak kapan dan hal apa yang mendorong Selasih menulis? Menurut penuturannya pada ceramah yang sudah disebutkan di atas, ia menulis sejak bulan Mei 1926, ketika ia menjadi guru di Matur. Seorang mantan gurunya, Sitti NoerMariah Naro setengah memaksa agar ia menulis untuk majalah Assyarag yang terbit di Padang. Majalah ini merupakan milik Persatuan Guru Perempuan, dan banyak mendorong bakat-bakat baru dengan memberi kesempatan tampil dengan gagasan-gagasan yang inovatif. Di antara pimpinan majalah ini terdapat nama Rasjid Manggis dan Rustam Effendi. Tulisan pertama Selasih di majalah itu berjudul: "Perlukah Anak Perempuan Bersekolah?"
Bakat menulisnya lebih berkembang setelah pada tahun 1927 ia pindah di Lubuk Sikaping. Dari segi tempat bekerja, sejak dari Bengkulu dan Matur, Lubuk Sikaping lebih memungkinkan menemukan bacaan yang mendorong bakatnya menulis. Pada tahun 1927 itu ia berjumpa dengan Abdul Latiefyang memperkenalkan padanya majalah Seri Pustaka, Panji Pustaka, dan Bintang Hindia. Setelah ia pindah di Bukittinggi cakrawala wawasannya lebih diperlebar oleh beberapa surat kabar seperti Persamaan, Sinar Sumatera, dan Sumatera Bond. Pada media massa inilah Selasih mengembangkan bakatnya menulis, baik di bidang sastra, seni-budaya, pendidikan, dan juga politik.
Terbitnya Kalau Tak Untung lebih membesarkan hatinya, bukan hanya karena namanya melejit sebagai wanita pujangga, akan tetapi imbalan yang diberikan Balai Pustaka sungguh-sungguh membanggakan. Oleh karena itu ia kemudian menulis novel kedua, Pengaruh Keadaan, dan terbit tahun 1937. Meskipun novel ini tidak sekuat Kalau Tak Untung, akan tetapi penerbitannya di Balai Pustaka merupakan suatu kepuasan tersendiri.
Pada tahun 1939 Selasih ikut serta dalam lomba mengarang roman yang diadakan oleh Balai Pustaka. Naskahnya yang diberi judul Harapan Ibu menduduki peringkat sembilan dari dua belas pemenang. Sayangnya naskah itu hilang, karena penerbitannya terbentur keadaan ekonomi pemerintah kolonial Belanda yang ambruk karena maleise dan sedang menghadapi suasana Perang Dunia II. Hal yang membanggakan dari sayembara itu di mana pengikutnya mencapai dua ratus lima puluh enam naskah, dan ia menduduki ranking sembilan, merupakan suatu kebanggaan tersendiri.
Di samping menulis karya fiksi ia juga menulis puisi dan menerjemahkan sejumlah karya dari Barat maupun dari Timur, terutama karya-karya yang ditulis dalam bahasa Belanda, dan dari Timur terutama dari karya-karya pengarang Cina. Sebagian puisinya dipilih Sutan Takdir Alisjahbana untuk antologi Puisi Baru (1946), Toeti Heraty dalam Seserpih Pinang SepucukSirih (1979), Linus Suryadi AG dalam Tonggak I (1986) dan Korrie Layun Rampan dalam Ungu: Antologi Puisi Wanita Penyair Indonesia (dalam proses penerbitan).
Sebagai sastrawati yang mengalami tiga zaman (Belanda, Jepang, dan kemerdekaan) ia menimba banyak pengalaman berharga. Ia sempat berhenti menulis sejak zaman penjajahan Jepang dan baru memulai lagi pada awal 1980-an. Pada pemunculannya yang kedua ia menerbitkan sejumlah buku cerita anak-anak seperti Panca Juara (1981), Nahkoda Lancang (1982), Cerita Kak Mursi (1984), dan lain-lain. Dorongan mengarang ini didapatkan pada tahun 1981 ketika Menteri P dan K Dr. Daoed Joesoef menemuinya pada tanggal 18 November 1981, memintanya menulis lagi. Dorongan ini disanggupinya, dan sampai tahun 1986 ia berhasil menulis dua puluh satu naskah — yang rata-rata setebal 200 halaman— dan sebagiannya diterbitkan dalam Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah yang dikelola pihak P dan K. Di antara buku ini diterbitkan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Minangkabau.
Novel paling akhir Selasih berjudul Kembali ke Pangkaian Ayah yang diterbitkan Mutiara Sumber Widya pada tahun 1986. Penerbitan ulang novel ini dilakukan oleh Penerbit Balai Pustaka pada tahun 1997. Dengan sejumlah karya sastra yang telah ditulisnya itu, namanya tercatat dalam sejarah sastra Indonesia sebagai sastrawati yang digolongkan di dalam kelompok Angkatan Balai Pustaka, yaitu kelompok sastrawan awal dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern.***
Unduh tulisan ini KLIK di sini
0 comments:
Post a Comment