Tentang Endapan Biografis Sang Eksistensialis
Cecep Syamsul Hari
Interiorisasi
Cerpen-cerpen Iwan Simatupang dalam Tegak Lurus dengan Langit dikumpulkan Dami N. Toda, dan sejak awal telah menunjukkan penjelajahan yang berhasil dalam mengedepankan pergulatan eksistensial manusia yang kehiduaon psikologisnya problematis.
Karakter (tokoh) dalam cerpen-cerpen Iwan Simatupang sangat "khas Iwan". Mereka adalah karakter-karakter yang asing, "hilang", misterius, tersesat dalam rimba labirin filosofis dan/atau terasing dari realitas kehidupan sosial. Karakter-karakter itu dalam kehidupan sehari-hari sangat mungkin kita kenal sebagai tetangga atau sahabat kita yang secara fisik biasa-biasa saja namun secara sosial mungkin kita anggap aneh karena pikiran dan tingkah-lakunya yang rumit dan tidak biasa.
Karakter-karakter itu tampaknya tidak hadir secara sembarang atau begitu saja turun dari langit khayalan. Dapat kita katakan Iwan Simatupang sengaja menghadirkan mereka dari realitas "kini dan di sini" setelah terlebih dahulu di-interiorisasi, yaitu diolah lewat suatu proses membatinkan melalui penjelajahan secara mentubi ke dalam wilayah pikiran dan perasaan mereka.
Dari hasil interiorisasi itulah, misalnya, lahir karakter aku dalam "Lebih Hitam dari Hitam" yang hidup dalam dunia yang asing, yang menyebal dari segala ukuran logika umum (common sense). Aku yang disiksa perasaan hampa dalam cerpen itu adalah pasien rumah sakit jiwa. Suatu ketika ia terlibat konflik dengan sesama pasien. Secara tak sengaja konflik itu melahirkan kembali perasaan kasih-sayang dalam hatinya yang dilukiskan Iwan dengan lyric-cry (meminjam istilah Frank O. Connor) sangat menyentuh:
Pipiku basah keduanya: dunia menghenyakkan dirinya ke dalam diriku. Dunia kutimang. Kasihku padanya tak terhingga ... (hlm. 16).
Karakter mahasiswa (jurusan filsafat?) dan ayahnya, yang dua-duanya mati bunuh diri, muncul dalam "Kereta Api Lewat di Jauhan". Cerpen itu dibuka dengan serbuan retorika liris yang mencekam, padat, dan mengejutkan:
Oleh karena ia pada suatu hari tak tahu apa yang harus dilakukan tangannya, ia mencari tali dan menggantung dirinya. Esoknya tetangga-tetangganya menguburnya. Lusa paginya, kamarnya dikarbol. Sorenya pindah ke situ
"Kereta Api Lewat di Jauhan" mengingatkan saya pada penelitian klasik Emilie Durkheim dalam monograf Suicide (New York: Free Press, 1966). Durkheim, ahli sosiologi klasik kelahiran Prancis, mengidentifikasi tiga tipe bunuh diri, yaitu tipe egoistik, anomik, dan altruistik. Karakter anak dan ayah dalam cerpen yang dari awal hingga akhir bersuasana muram itu, mencerminkan hubungan kausal (sebab akibat) antara tekanan terhadap individu (si anak dan si ayah) yang berlebih-lebihan di satu sisi, berhadap-hadapan dengan kondisi anomalis (ganjil, menyimpang) masyarakat modern di sisi yang lain. Cerpen itu pun memperlihatkan sisi tragik dari realitas kehidupan masyarakat modern, ketika individualisme jatuh pada derajatnya yang paling rendah karena masyarakat modern cuma bersimpati kepada orang-orang yang "menang", bukan kepada mereka yang "kalah". Anak dan ayah yang bunuh diri secara egoistic-anomik dalam tipologi Durkheim itu, memperlihatkan secara jelas realitas kekalahan itu.
"Tunggu Aku di Pojok Jalan Itu" dan "Tegak Lurus dengan Langit" adalah dua dari sedikit cerpen Iwan Simatupang yang pada hemat saya paling berhasil menggugah kita untuk berpikir kembali tentang kesadaran meng-Ada manusia. Yang dimaksud "kesadaran meng-Ada" adalah bagaimana manusia (sebagai individu atau sebagai aku) menempatkan dirinya dalam hubungannya dengan orang lain, Tuhan, dan dengan segala sesuatu di luar dirinya. Karakter dalam kedua cerpen itu adalah aku yang memikul beban sisi gelap meng-Ada secara etre-pour-soi (Inggris: being-for-itself atau "kesadaran manusia") dalam pemahaman filsafat eksistensialisme. Menurut Jean Paul Sartre, filsuf kelahiran Francis yang bukunya L'etre e le neant (Ada dan Ketiadaan) menjadi dokumen penting aliran filsafat eksistensialisme dan pikiran-pikirannya di sana-sini mempengaruhi cara berpikir Iwan Simatupang, manusia yang meng-Ada secara etre-pour-soi adalah manusia yang menggenggam kebebasan dalam kedua tangannya sendiri, dan membentuk kebebasan yang dimilikinya menurut kehendaknya sendiri. Ia menjadi semacam manusia yang dimaksudkan Sartre dengan perkataannya: I'homme n'est rien d'autre que ce qu'il se fait atau "manusia adalah sebagaimana ia menjadikan dirinya sendiri".
Karakter yang tersesat dalam rimba labirin filosofis dan terasing dari realitas kehidupan sosial muncul pula dalam dua cerpen berikut ini. Karakter gadis dalam "Patates Frites" yang dilukiskan sebagai mirip Juliette Creco, "penyanyi eksistensialisme kota Paris" (hlm. 54), terlunta-lunta dalam pengembaraan yang melelahkan sebagai akibat dari keyakinannya yang teguh terhadap "kebenaran" filsafat eksistensialisme yang konsisten dianut dan dijadikan pandangan dunianya. Sedangkan si lelaki berperawakan penyair Rabindranath Tagore dalam "Monolog Simpang Jalan" adalah seorang pengarang gagal yang memutuskan untuk membuang pena dan mengembara ke "dingin kaki lima dan kolong-kolong jembatan (hlm.25)
Suasana agak berbeda dan berkesan melankolik terdapat dalam cerpen "Tanggapan Merah Jambu tentang Revolusi" yang merupakan kritik lembut Iwan Simatupang terhadap hingar-bingar revolusi. Bandingkan, misalnya, dengan cerpen-cerpen Idrus dalam Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma yang juga mengalamatkan kritik terhadap hiruk-pikuk revolusi namun dilakukan dengan gaya komikal dan satir.
Ada sejumlah cerpen Iwan Simatupang yang ditulis antara 1968-1970 yang lebih merupakan potret suasana dan sketsais yaitu: "Tak Semua Tanya Punya Jawab", "Oleh-oleh untuk Pulau Bawean", "Prasarana, Apa Itu, Anakku?", "Aduh ... Jangan Terlalu Maju, Atuh!", "Husy! Geus! Hoechst!", "Seorang Pangeran Datang dari Seberang Lautan", dan "Dari Tepi Langit yang Satu ke Tepi Langit yang Lain". Cerpen-cerpen yang berjenis potret suasana itu meskipun berpretensi sastra kelihatannya lebih bernilai sebagai dokumen jurnalistik yang membingkai kondisi sosial politik masyarakat kita pada masa cerpen itu dibuat.
Kemungkinan Ultim
Kecuali "Tanggapan Merah Jambu tentang Revolusi" dan beberapa cerpen berjenis potret suasana, cerpen-cerpen Iwan Simatupang dalam Tegak Lurus dengan Langit sesak dengan permenungan filosofis perihal pergulatan eksistensial manusia yang memilih meng-Ada secara etre-pour-soi. Mereka terperangkap dalam jaring kesadaran mereka sendiri. Ini semua melemparkan mereka ke dalam kegelisahan psikologis, kegelisahan filosofis, dan pergulatan eksistensial yang tak usai-usai dan kerap tak berjawab. Pada gilirannya, mereka gagal menjalin hubungan dengan realitas kehidupan sosial tempat mereka sehari-hari hidup, dan menyebabkan mereka tenggelam dalam keterasingan (estrangement), kehampaan (emptiness), dan kesunyian (solitariness). Lebih jauh, mereka tidak mampu menjawab kemungkinan ultim (kemungkinan terakhir dari kehidupan) mereka sendiri. Maka masuk akal kita apabila hampir semua karakter itu mengalami kegagalan eksistensial, dan sebagian dari mereka menjawab pertanyaan tentang kemungkinan ultim mereka dengan cara bunuh diri. Bagi mereka bunuh diri adalah pilihan, jalan yang ditempuh untuk mengakhiri kegelisahan psikologis, kegelisahan filosofis, dan pergulatan eksistensial mereka. Mereka adalah orang-orang yang, dalam bahasa Sartre, "dihukum untuk hidup bebas", condamne a etre libre.
Secara estetik maupun tematik cerpen-cerpen Iwan Simatupang dapat dikatakan berjaya. Keberhasilan itu tampaknya disebabkan bukan semata-mata karena kehadirannya dalam lingkungan kesusastraan kita pada waktu itu bersamaan dengan menggejalanya "demam eksistensialisme", melainkan karena cerpen-cerpennya - sebagaimana karya drama, novel, dan juga puisi-puisinya- merupakan endapan biografis dari perjalanan jiwanya.***
Sumber: Majalah Horison Edisi XI 2009 (Sisipan Kaki Langit 155/2009).
Download postingan ini KLIK di sini
1 comments:
Bosss, cari kumpulan cerpen Iwan Simatupang ntuh dimane ye. Gw demen banget sama tuh cerpen. Makasih infonye ye bossss
Post a Comment