Kisah Ken Arok (lanjutan)
Kemudian Ranggawuni menjadi raja, ia dengan Mahisa Campaka dapat diumpamakan seperti dua ular naga didalam satu liang. Ranggawuni bernama nobatan Wisnuwardana, demikanlah namanya sebagai raja, Mahisa Campaka menjadi Ratu Angabhaya, bernama nobatan Batara Narasinga. Sangat rukunlah mereka, tak pernah berpisah. Batara Wisnuwardana mendirikan benteng di Canggu sebelah utara pada tahun Saka 1193. Ia berangkat menyerang Mahibit, untuk melenyapkan Sang Lingganing Pati. Adapun sebabnya Mahibit kalah, karena kemasukkan orang yang bernama Mahisa Bungalan. Sri Ranggawuni menjadi raja lamanya 14 tahun, ia wafat pada tahun 1194, dicandikan di Jajagu. Mahisa Campaka wafat, dicandikan di Kumeper, sebagian abunya dicandikan di Wudi Kuncir.
Sri Ranggawuni meninggalkan seorang anak laki laki, bernama Sri Kertanegara, Mahisa Campaka meninggalkan seorang anak laki laki juga, bernama Raden Wijaya. Kertanegara menjadi Raja, bernama nobatan Batara Siwabuda.
Adalah seorang hambanya, keturunan orang tertua di Nangka, bernama Banyak Wide, diberi sebutan Arya Wiraraja, rupa rupanya tidak dipercaya, dijatuhkan, disuruh menjadi Adipati di Sungeneb, bertempat tinggal di Madura sebelah timur. Ada Patihnya, pada waktu ia baru saja naik ke atas tahta kerajaan, bernama Mpu Raganata, ini selalu memberi nasehat untuk keselamatan raja, ia tidak dihiraukan oleh Sri Kertanegara, karenanya itu Mpu Raganata lalu meletakkan jabatan tak lagi menjadi Patih, diganti oleh Kebo Tengah Sang Apanji Aragani. Mpu Raganata lalu menjadi Adiyaksa di Tumapel.
Sri Kertanegara pada waktu memerintah, melenyapkan seorang kelana bernama Baya. Sesudah kelana itu mati, ia memberi perintah kepada hamba rakyatnya, untuk pergi menyerang Melayu. Apanji Aragani menghantarkan, sampai di Tuban ia kembali, sedatangnya di Tumapel Sang Apanji Aragani mempersembahkan makanan tiap tiap hari, raja Kertanegara bersenang senang. Ada perselisihannya dengan raja Jaya Katong, raja di Daha, ini menjadi musuh raja Kertanegara, karena lengah terhadap usaha musuh yang sedang mencari kesempatan dan ketepatan waktu, ia tidak memikir kesalahannya. Banyak Wide berumur 40 tahun pada peristiwa penyerangan Melayu itu, ia berteman dengan raja Jaya Katong, Banyak Wide yang bergelar Arya Wiraraja itu dari Madura, mengadakan hubungan dan berkirim utusan. Demikian juga raja Jaya Katong berkirim utusan ke Madura. Wiraraja berkirim surat kepada raja Jaya Katong, bunyi surat: "Tuanku, patik baginda bersembah kepada paduka raja, jika paduka raja bermaksud akan berburu di tanah lapang lama, hendaknyalah paduka raja sekarang pergi berburu, ketepatan dan kesempatan adalah baik sekali, tak ada bahaya, tak ada harimau, tak ada banteng, dan ularnya, durinya, ada harimau, tetapi tak bergigi." Patih tua Raganata itu yang dinamakan harimau tak bergigi, karena sudah tua. Sekarang raja Jaya Katong berangkat menyerang Tumapel. Tentaranya yang datang dari sebelah utara Tumapel terdiri dari orang orang yang tidak baik, bendera dan bunyi bunyian penuh, rusaklah daerah sebelah utara Tumapel, mereka yang melawan banyak yang menderita luka. Tentara Daha yang melalui jalan utara itu berhenti di Memeling.
Batara Siwa Buda senantiasa minum minuman keras, diberi tahu bahwa diserang dari Daha, ia tidak percaya, selalu mengucapkan kata: "Bagaimana dapat raja Jaya Katong demikian terhadap kami, bukanlah ia telah baik dengan kami." Setelah orang membawa yang menderita luka, barulah ia percaya. Sekarang Raden Wijaya ditunjuk untuk berperang melawan tentara yang datang dari sebelah utara Tumapel, disertai oleh para arya terkemuka: Banyak Kapuk, Rangga Lawe, Pedang Sora, Dangdi Gajah Pangon, anak Wiraraja yang bernama Nambi, Peteng dan Wirot, semua prajurit baik, melawan tentara Daha di bagian utara itu, dikejar diburu oleh Raden Wijaya. Kemudian turunlah tentara besar besar dari Daha yang datang dari tepi sungai Aksa, menuju ke Lawor, mereka ini tak diperbolehkan membikin gaduh, tidak membawa bendera, apalagi bunyi bunyian, sedatangnya di Sidabawana langsung menuju Singasari. Yang menjadi prajurit utama dari tentara Daha sebelah selatan ini, yalah: Patih Daha Kebo Mundarang, Pudot dan Bowong. Ketika Batara Siwa Buda sedang minum minuman keras bersama sama dengan patih, maka pada waktu itu ia dikalahkan, semua gugur, Kebo Tengah yang melakukan pembalasan, meninggal di Manguntur. (bersambung)
0 comments:
Post a Comment