Wednesday, March 12, 2008

Sutardji CB


Sutardji Calzoum Bachri (lahir 1941 di Riau) adalah pujangga Indonesia terkemuka. Setelah lulus SMA Sutardji Calzoum Bachri melanjutkan studinya ke Fakultas Sosial Politik Jurusan Administrasi Negara, Universitas Padjadjaran, Bandung. Pada mulanya Sutardji Calzoum Bachri mulai menulis dalam surat kabar dan mingguan di Bandung, kemudian sajak-sajaknyai dimuat dalam majalah Horison dan Budaya Jaya serta ruang kebudayaan Sinar Harapan dan Berita Buana.

Dari sajak-sajaknya itu Sutardji memperlihatkan dirinya sebagai pembaharu perpuisian Indonesia. Terutama karena konsepsinya tentang kata yang hendak dibebaskan dari kungkungan pengertian dan dikembalikannya pada fungsi kata seperti dalam mantra.

Pada musim panas 1974, Sutardji Calzoum Bachri mengikuti Poetry Reading International di Rotterdam. Kemudian ia mengikuti seminar International Writing Program di Iowa City, Amerika Serikat dari Oktober 1974 sampai April 1975. Sutardji juga memperkenalkan cara baru yang unik dan memikat dalam pembacaan puisi di Indonesia.

Sejumlah sajaknya telah diterjemahkan Harry Aveling ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan dalam antologi Arjuna in Meditation (Calcutta, India), Writing from the World (Amerika Serikat), Westerly Review (Australia) dan dalam dua antologi berbahasa Belanda: Dichters in Rotterdam (Rotterdamse Kunststichting, 1975) dan Ik wil nog duizend jaar leven, negen moderne Indonesische dichters (1979). Pada tahun 1979, Sutardji dianugerah hadiah South East Asia Writer Awards atas prestasinya dalam sastra di Bangkok, Thailand.

O Amuk Kapak merupakan penerbitan yang lengkap sajak-sajak Calzoum Bachri dari periode penulisan 1966 sampai 1979. Tiga kumpulan sajak itu mencerminkan secara jelas pembaharuan yang dilakukannya terhadap puisi Indonesia modern.

Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Sutardji_Calzoum_Bachri"

TANAH AIRMATA

tanah airmata tanah tumpah dukaku
mata air airmata kami
airmata tanah air kami

di sinilah kami berdiri
menyanyikan airmata kami

di balik gembur subur tanhmu
kami simpan perih kami
di balik etalase megah gedung-gedungmu
kami coba sembunyikan derita kami

kami coba simpan nestapa
kami coba kuburkan dukalara
tapi perih tak bias sembunyi
ia merebak ke mana-mana

bumi memang tak sebatas pandang
dan udara luas menunggu
namun kalian takkan bias menyingkir
ke manapun melangkah
kalian pijak airmata kami
kle manapun terbang
kalian ‘kan hinggap di airmata kami
ke manapun berlayar
kalian arungi airmata kami

kalian sudah terkepung
takkan bias mengelah
takkan bias ke mana pergi
menyerahlah pada kedalaman airmata kami

BELAJAR MEMBACA


Kakiku luka
Luka kakiku
Kakikau lukakah
Lukakah kakikau
Kalau kakikau luka
Lukakukah kaki kau
Kakiku luka
Lukakaukah kakiku
Kalau lukaku lukakau
Kakiku kakikaukah
Kakikaukah kakiku
Kakiku luka kaku
Kalau lukaku lukakau
Lukakakukakiku lukakakukakikaukah
Lukakakukakikakukah lukakakukakiku


LUKA


Ha ha


SHANGHAI
Ping di atas pong
Pong di atas ping
Ping-ping bilang pong
Pong-pong bilang ping
Mau pong ? Bilang ping
Mau ping? Bilang pong
Mau mau bilang ping
Ya pong ya ping
Ya ping ya pong
Tak ya pong tak ya ping
Ya tak ping
Ya tak pong
Kau tak punya ping
Kau tak punya pong
Pinggir ping kau mau pong
Tak tak bilang ping
Pinggir pong kau mau ping
Tak tak bilang pong
Sembilu jarak-Mu merancap nyaring

Download puisi-puisi ini?

Joko Pinurbo


Joko Pinurbo lahir di Sukabumi, 11 Mei 1962. Pada tahun 1987 ia menamatkan studi di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Sanata Dharma (sekarang Universitas Sanata Dharma) Yogyakarta.
Mulai mengarang sejak dia belajar di Sekolah Menengah Atas (SMA). Karya-karyanya adalah (1) Celana (IndonesiaTera, 1999), (2) Di Bawah Kibaran Sarung (IndonesiaTera, 2001), (3) Pacarkecilku (IndonesiaTera, 2002), (4) Trouser Doll merupakan terjemahan karyanya berjudul Celana ke dalam bahasa Inggris (Lontar, 2002), (5) Telepon Genggam (Penerbit Buku Kompas, 2003), (6) Kekasihku (Kepustakaan Populer Gramedia, 2004), (7) Pacar Senja – Seratus Puisi Pilihan (Grasindo, 2005), (8) Kepada Cium (Gramedia Pustaka Utama, 2007), dan (9) Celana Pacarkecilku di Bawah Kibaran Sarung (Gramedia Pustaka Utama, 2007).
Penghargaan yang pernah diperoleh adalah (1) Hadiah Sastra Lontar 2001 untuk buku kumpulan puisi pertamanya, Celana, (2) Sih Award 2001 untuk puisi Celana1-Celana 2-Celana 3, (3) Penghargaan Sastra Pusat Bahasa 2002 untuk buku kumpulan puisinya Di Bawah Kibaran Sarung, (4) Tokoh Sastra Pilihan Tempo 2001, dan (5) Khatulistiwa Literary Award 2005 untuk buku antologi puisi Kekasihku.

CELANA (1)

Ia ingin membeli celana baru
buat pergi ke pesta
supaya tampak lebih tampan
dan meyakinkan.

Ia telah mencoba seratus model celana
di berbagai toko busana
namun tak menemukan satupun
yang cocok untuknya.

Bahkan di depan pramuniaga
yang merubung dan membujuk-bujuknya
ia malah mencopot celananya sendiri
dan mencampakkannya.

“Kalian tidak tahu ya
aku sedang mencari celana
yang paling pas dan pantas
buat nampang di kuburan.”

Lalu ia ngacir
tanpa celana
dan berkelana
mencari kubur ibunya
hanya untuk menanyakan,
“Ibu, kau simpan di mana celana lucu
yang kupakai waktu bayi dulu?”

1996


Mata Bola


Ia baru saja menunaikan pertandingan sepakbola.
Hatinya memar dan lara. Ia dapatkan tiga peluang emas
untuk mencetak gol, semuanya terbuang percuma.
Bola yang ditembaknya dengan penuh perhitungan
melambung di atas mistar gawang.
Satu mendarat di pelukan penjaga gawang.
Satu lagi membentur tiang gawang,
kemudian memantul deras menghantam jidatnya tersayang.

Dengan terpincang-pincang ia tinggalkan gelanggang.
Kakinya yang gigih agak rusak digasak lawan.
Bola yang dingin dan angkuh dibawanya pulang
dan dihajarnya dengan beringas.
“Ampun, bang,” rintih bola, “bukan saya
yang bikin naas. Kaki abanglah yang kurang cerdas.”

Dipandanginya mata bola yang menatapnya penuh iba.
Sekonyong-konyong muncul bayangan ayahnya
yang tewas dalam kerusuhan penonton
saat menyaksikan pertandingan bola.
Dengan sesal dibelai-belainya bola dan didekapnya.
“Aduh, badanmu panas sekali, bola. Kau demam ya?
Kau pasti capek diajak berlari ke sana kemari.”

Bola terpejam. Dan dari balik mata bola ia dengar suara
ibunya yang telah tiada: “Kakimu cedera ya, nak?
Sini ibu pijitin biar tambah sakit.
Jangan sedih. Ibu selalu menyertaimu di dalam bola.”
Nah, ia akan mencoba cara baru menceploskan bola
ke mulut gawang: ia akan menendangnya sambil terpejam


Kredo Celana

Yesus yang seksi dan murah hati,
kutemukan celana jinmu yang koyak
di sebuah pasar loak.
Dengan uang yang tersisa dalam dompetku
kusambar ia jadi milikku.

Ada noda darah pada dengkulnya.
Dan aku ingat sabdamu:
“Siapa berani mengenakan celanaku
akan mencecap getir darahku.”
Mencecap darahmu? Siapa takut!
Sudah sering aku berdarah,
walau darahku tak segarang darahmu.

Siapa gerangan telah melego celanamu?
Pencuri yang kelaparan,
pak guru yang dihajar hutang,
atau pengarang yang dianiaya kemiskinan?
Entahlah. Yang pasti celanamu
pernah dipakai bermacam-macam orang.

Yesus yang seksi dan rendah hati,
malam ini aku akan baca puisi
di sebuah gedung pertunjukan
dan akan kupakai celanamu
yang sudah agak pudar warnanya.
Boleh dong sekali-sekali aku tampil gaya.

Di panggung yang remang-remang
sajak-sajakku meluncur riang.
Makin lama tubuhku terasa menyusut
dan lambat-laun menghilang.
Tinggal celanamu bergoyang-goyang
di depan mikrofon,
sementara sajak-sajakku terus menggema
dan aku lebur ke dalam gema.
“Hidup raja celana!” Hadirin terkesima.

Kelak akan ada seorang ibu
yang menjahit sajak-sajakku
menjadi sehelai celana
dan celanaku akan merindukan celanamu.

(2007)


Celana Senja


Daun-daun celana berguguran
di senja tersayang.
Di senja tersayang
daun-daun celana berguguran.

Merah, kuning, hijau, biru
bertaburan di halaman.
Hitam, putih, jingga, ungu
dicumbu angin dan hujan.

Angin dan hujan menerpa
pohon celana tercinta.
Pohon mimpi. Pohon luka
Pohon rindu. Pohon kenangan.

Di bawah pohon cinta
daun-daun celana bertebaran.
Dipungut ibu, dimasukkan
dalam keranjang.

Daun-daun celana berguguran
di senja tersayang.
Di senja tersayang
daun-daun celana berguguran.

(2007)


Tukang Potret Keliling

Cita-citanya tinggal satu: memotret seorang pujangga
yang ia tahu tak pernah suka diambil gambarnya.
Ia ingat bual seorang peramal: “Kembaramu
akan berakhir pada paras seorang penyair.”

Demikianlah, dengan tangan gemetar, ia berhasil
mencuri wajah penyair pendiam itu dengan tustelnya.
Ia bahagia, sementara sang pujangga terpana:
“Ini wajahku, wajahmu, atau wajah kita?”

Tak lama kemudian tukang potret keliling itu mati.
Tubuhnya yang sementara terbujur di ruang
yang dindingnya penuh dengan foto-foto karyanya.
Ada foto penyair. Tapi tak ada foto dirinya.

Kerabatnya bingung. Mereka tidak juga menemukan
potretnya untuk dipajang di dekat peti matinya.
“Sudah, pakai foto ini saja,” cetus salah seorang
dari mereka sambil diambilnya foto pujangga.
“Lihat, mirip sekali, nyaris serupa. Ha-ha-ha….”

Penyair kita tampak di antara kerumunan pelayat
yang berdesak-desakan memanjatkan doa
di sekeliling peti almarhum. Ada seorang ibu
yang dengan haru mengusap foto itu: “Hatinya
pasti manis. Di akhir hayatnya wajahnya keren abis!”

(2007)


Mengenang Jegqy


Saya berkenalan dengan Jengqy sepuluh tahun lalu
di sebuah senja yang kelabu. “Saya keturunan Amerika,
lahir dan besar di Jakarta,” katanya dengan malu-malu.
Mungkin karena sudah jodoh, dalam waktu singkat
kami merasa sudah dekat. Tanpa ragu ia ikut saya.
Kami pun bergandengan dalam hangat.

Sungguh saya beruntung punya teman sebaik Jengqy.
Ia lembut dan murah hati. Ia pandai membaca pikiran
dan perasaan saya. Ia bisa mengerti mimpi-mimpi saya.
Ia selalu sabar menyertai hari baik dan hari naas saya.
“Suka dan duka kita santap bersama,” ujarnya.

Kadang saya mengajaknya ke medan perang
untuk menghadapi serangan para gerilyawan sepi
yang mengancam kedaulatan hati. Ia sempat terluka
dan saya jahit lukanya. Ia juga sering menemani saya
memasuki gua gelap kata-kata untuk menaklukkan
keangkeran hantu kata-kata.

Dasar nasibnya baik, lama-lama ia lebih tenar dari saya.
Kadang orang mengenali saya karena mengenali Jengqy.
Ketika saya bertandang ke seorang teman, misalnya,
ia menyambut saya dengan berseru, “Halo Jengqy,
ke mana saja kamu?” Ah Jengqy, kamu ada di mana-mana.

Pernah kami bentrok hebat gara-gara ia terlalu cerewet
mengenai kesehatan saya. “Sembuhkan dulu sakitmu,
baru kerja lagi. Jangan sok heroik, merasa bisa berkarya
dengan dahsyat kalau lagi sakit hebat.” Tanpa ampun
ia tega meringkus kedua kaki saya dan melarang saya pergi.

Senja itu saya biarkan Jengqy termenung sendirian
di ruang belakang. Ia tampak galau dan gundah dan saya
tidak berani mengusiknya. Saat saya pulang dari beli rokok,
saya dapatkan Jengqy sudah tak ada. Saya ingat Jengqy
pernah berkata, “Sayang, aku tak akan tahan melihatmu
sekarat dan mati sunyi. Lebih baik aku pergi.”

Saya tidak tahu apakah Jengqy –demikian nama celana
kesayangan saya itu— telah dipungut oleh pemulung
atau oleh seseorang yang diam-diam menginginkannya.

Selamat jalan, Jengqy. Di serat-seratmu meresap bau rinduku.

(2007)


Kepada Helen Keller

Mataku berhutang kepada matamu.
Mataku sering meminjam cahaya matamu
untuk menulis dan membaca
ketika tubuhku padam dan gelap gulita.

(2007)


Angkringan


Lapar mengajak saya ke warung angkringan
di pinggir jalan. Tuan pedagang angkringan
sedang ketiduran. Ia batuk-batuk, mengerang,
kemudian ia betulkan batuknya yang sumbang.

Saya makan dua bungkus nasi kucing.
Saya bikin kopi sendiri, ambil rokok sendiri.
Saya bayar, saya hitung sendiri. “Kembaliannya
untuk Tuan saja,” kata saya dalam hati.
Lalu saya pamit pulang. “Selamat tidur, pejuang.”

Tuan pedagang angkringan terbangun.
“Tunggu, jangan tinggalkan saya sendirian!”
Setelah semuanya ia bereskan, ia paksa saya
segera naik ke atas gerobak angkringan.
”Berbaringlah, Tuan. Saya antar Tuan pulang.”

Amboi, saya telentang kenyang
di atas gerobak angkringan yang berjalan pelan
menyusuri labirin malam. Saya terbuai, terpejam.
Seperti naik perahu di laut terang, meluncur ringan
menuju rumah impian nun di seberang.
Samar-samar saya lihat bayangan seorang ibu
sedang meninabobokan anaknya dalam ayunan:
Tidurlah, tidur, tidurlah anakku tersayang….

2007

Download Novel Sastra
Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari) - Lintang Kemukus Dini Hari (Ahmad Tohari) - Jentera Bianglala (Ahmad Tohari) - Kubah (Ahmad Tohari) - Di Kaki Bukit Cibalak (Ahmad Tohari) - Bekisar Merah (Ahmad Tohari) - Siti Nurbaya (Marah Rusli) - Di Bawah Lindungan Kabah (Hamka) - Azab dan Sengsara (Merari Siregar) - Harimau-Harimau (Mochtar Lubis) - Supernova (akar - Dee) - Supernova (petir - Dee) - - Sengsara Membawa Nikmat (Tulis Sutan Sati) - Mantra Penjinak Ular (Kuntowijoyo) - Mangir (Pramoedya Ananta Toer) - Arok-Dedes (Pramoedya Ananta Toer) - Perburuan (Pramoedya Ananta Toer) - Kasih Tak Terlerai (Suman Hs) - Gadis Pantai (Pramoedya Ananta Toer) - Atheis (Achdiat Kartamiharja)


goesprih.blogspot.com Overview

goesprih.blogspot.com has 1.444.907 traffic rank in world by alexa. goesprih.blogspot.com is getting 761 pageviews per day and making USD 3.70 daily. goesprih.blogspot.com has 210 backlinks according to yahoo and currently not listed in Dmoz directory. goesprih.blogspot.com is hosted in United States at Google data center. goesprih.blogspot.com is most populer in INDONESIA. Estimeted worth of goesprih.blogspot.com is USD 2701 according to websiteoutlook