Dodong Djiwapradja lahir 28 September 1928 di Garut, jawa Barat. Pendidikan: tamat Perguruan Tinggi Hukum Militer.
Ia pernah bekerja di AURI dan menjadi guru SMA IPI Jakarta (1953-1958), dosen estetika di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1962-1964). Pernah menjadi anggota Komisi Istilah Seksi Penerangan (1951-1960), Anggota pengurus Pleno BMKN (1960), dan mengikuti Konferensi Pengarang Asia-Afrika di Tashkent, Uni Soviet (1958).
Dodong menulis banyak puisi dan menerjemahkan karya sastra asing. Ia mulai menulis sekitar tahun 1948.
PUISI
Kun fayakun
Saat penciptaan kedua adalah puisi
Tertimba dari kehidupan yang kautangisi
Bumi yang kaudiami, laut yang kaulayari
adalah puisi
Udara yang kauhirupi, air yang kauteguki
adalah puisi
Kebun yang kautanami, bukit yang kaugunduli
adalah puisi
Gubuk yang kauratapi, gedung yang kautinggali
adalah puisi
Dan dari setiap tanah yang kaupijak
sawah-sawah yang kaubajak
katakanlah: sajak
Puisi adalah manisan
yang terbuat dari butir-butir kepahitan
Puisi adalah gedung yang megah
yang terbuat dari butir hati yang gelisah
TERLALU BANYAK KITA KEHILANGAN
Inilah sebagian dan mimpi
yang mestinya teriadi
dulu waktu sekolah,
ketika seorang dari kita
membiarkan rambutnya terurai
membaringkan tubuh
di atas pasir,
atau berenang ke tengah
tatkala seorang dari kita
mengejarnya sambil terengah-engah
Inilah sebagian dari mimpi
yang mestinya terjadi
semasa antara kita ada janji,
ketika berangkat dewasa
lalu pergi ke Jakarta
Inilah sebagian derita kita — sayang
Bencana perang datang
Terlalu banyak kita kehilangan:
aku telah kehilangan kau
dan kau sia-sia menungguku
Hari ini mari kita bayangkan, kenangkan
dan hapuskan noda-noda karena perang
Buatlah seakan langit pernah menyaksikan
adanya kegembiraan — antara kita
dulu, andaikan pernah jalan bersama
di pantai Pangandaran
Pangandaran, Januari 73
PANGANDARAN
Kutegur wajahku
Yakinlah: ini bukan lukisan Nashar
Perahu bergerak
berlayar
Mengabur tepi — damailah kegaduhan
Anginpun lewat, berdesir
Dan sepi atas pasir
Pantai
Laut
Ombak
Cagaralam
Inilah Pangandaran
Siapa berani berenang
sampai Cijulang?
Debur ombak — mengamuklah sepi
Jejak-jejak kaki yang basah
Telah lama musnah
Kutegur wajahku
Yakinlah: ini bukan lukisan Nashar
Perahu bergerak
berlayar
Mengabur tepi — damailah kegaduhan
Anginpun lewat, berdesir
Dan sepi atas pasir
Pantai
Laut
Ombak
Cagaralam
Inilah Pangandaran
Siapa berani berenang
sampai Cijulang?
Debur ombak — mengamuklah sepi
Jejak-jejak kaki yang basah
Telah lama musnah
Pangandaran, Januari 73
ANAK KECIL DI TENGAH LAUTAN
Kita tidak pernah belajar
bagaimana para nelayan beriayar
Ketika ombak datang
didorongnya ke muka
perahu kecil yang terbuka
Kita pun tak berani mengeringkan tubuh
di tengah lautan:
menantang angin
mengelantang din
di terik matahari
Ah, betapa malunya!
Hati kita ciut
ketika perahu oleng
kitalah orang-orang cengeng
Dan betapa malunya
ketika terlihat seorang anak kecil
sendirian dalam perahu
sementara orang-orang dewasa
terjun
merentang jaring
Dan betapa malunya
Ketika punggung-punggung ombak mengangkat perahu
sementara si anak duduk anggun
bagai kupu-kupu dalam kebun
Ombak-ombak
tunduk dan jinak
bagai kerbau dungu
yang di punggungnya
duduk penggembalanya:
seorang anak kecil
dengan cambuknya yang mungil
Kita tidak pernah belajar
tentang keberanian
Padahal seorang anak kecil
duduk sendirian:
dalam perahu
di tengah lautan
Kita tidak pernah belajar
bagaimana para nelayan beriayar
Ketika ombak datang
didorongnya ke muka
perahu kecil yang terbuka
Kita pun tak berani mengeringkan tubuh
di tengah lautan:
menantang angin
mengelantang din
di terik matahari
Ah, betapa malunya!
Hati kita ciut
ketika perahu oleng
kitalah orang-orang cengeng
Dan betapa malunya
ketika terlihat seorang anak kecil
sendirian dalam perahu
sementara orang-orang dewasa
terjun
merentang jaring
Dan betapa malunya
Ketika punggung-punggung ombak mengangkat perahu
sementara si anak duduk anggun
bagai kupu-kupu dalam kebun
Ombak-ombak
tunduk dan jinak
bagai kerbau dungu
yang di punggungnya
duduk penggembalanya:
seorang anak kecil
dengan cambuknya yang mungil
Kita tidak pernah belajar
tentang keberanian
Padahal seorang anak kecil
duduk sendirian:
dalam perahu
di tengah lautan
Cijulang, Januari 73
SEBUAH PERTUNJUKAN
Theater terbuka
di pinggir jalan
sepintas adegan;
di pinggir jalan
sepintas adegan;
Percakapan para gelandangan:
— Jika sebentar malam
tiba-tiba turun hujan, lebat
tapi dari ketupat
Bagaimana sikap kita?
— Baiknya, datang angin sate
wanginya!
wanginya!
Paduan suara para peminta-minta:
— Ketupat dan sate
soto dan gule
dua sejoli
makanan abadi
Ketupat dan sate
soto dan gule
empat serangkai
bagai mempelai
Suara pengemis tua:
— Cita-cita!
barang khayal tak berguna
mimpi anak-anak muda
Pendeta tua bangka, turun dari beca:
— Jika Tuhan memberkahi kita
Tidak di dunia, mungkin di sorga
1972
PRAHARA
Renik-renik dan ikan-ikan kecil
meletik, menyentil
permukaan air: plastik dan kaca
langit, alam terbuka —
Dawai-dawai alam menyimpan bunyi
dan suara lembut
hampir tertutup
gemetar, syahdu dan sayup
Apa yang terjadi nanti
jika awan bergulung
singgah di punggung gunung?
Benar saja, bagai direncanakan semula
oleh tangan gaib sutradara
7 divisi angin, telah menempatkan pasukannya
di hutan-hutan sekitarnya
sebentar malam operasi badai!
Ikan-ikan kecil
genangan air
kali kecil
plastik dan kaca
pasukan mana yang membela?
Dan, seperti selalu
sejak dulu
adat sediakala
permainan yang mengerikan ini
serta merta segala
dengan hidangan terakhir: malapetaka
Maka seperti biasa
korban-korban bergelimpangan
yang sebagian besar:
makhluk tak berdosa
MANCING DI KALI CIMANUK
Sehabis naik bukit ini, pohon loa,
Belok kanan, lalu lembah. Akhirnya air
Batu dan pasir begini melulu dari dulu
Dan air terus saja mengalir
Tak peduli sudah berapa kali
Penduduk sini mati berganti
Anak-anak masih juga suka bermain
Di sini, telanjang bulat, berkelahi
menggali pasir, nyemplung di air
Hanya bukan yang dulu lagi!
Mereka telah lama pergi
dari kampungnya, mengembara
entah ke mana
Lalu dunia mulai terdiam:
ujung joran bergerak-gerak!
Seakan tak ada lagi yang tampak
selain joran, tali pancing, nafas sesak
serta air riuh bergelucak
Jika dunia hanya begini saja
Alangkah damainya!
Hanyalah takut
kaki sebawah kutut
lama-lama akan membatu
dan berlumut
MENGAJI
Mengapa tidak basa jawa
atau sunda
supaya nenek bisa membaca?
Tapi,
bukankah tiap baris puisi
kalau terialu jelas mengerti
rasanya basi, kurang patri?
Keindahan, kata orang
menyelinap
merayap
lalu mengendap
Serta bayang-bayang ajaib, mengintip
naik ke bukit
di mana Nabi
bagai bertubi-tubi
ketiban wahyu Ilahi
Dalam kitab suci semua orang disayangi
. Pelacur, penjahat dan para penjudi
termasuk tentara dan polisi
Sifat yang keji
itulah mesti dijauhi
tenung dan sihir
bukan penyair
PENYAIR, YANG LAHIR DI TANAH AIR
Renik-renik dan ikan-ikan kecil
meletik, menyentil
permukaan air: plastik dan kaca
langit, alam terbuka —
Dawai-dawai alam menyimpan bunyi
dan suara lembut
hampir tertutup
gemetar, syahdu dan sayup
Apa yang terjadi nanti
jika awan bergulung
singgah di punggung gunung?
Benar saja, bagai direncanakan semula
oleh tangan gaib sutradara
7 divisi angin, telah menempatkan pasukannya
di hutan-hutan sekitarnya
sebentar malam operasi badai!
Ikan-ikan kecil
genangan air
kali kecil
plastik dan kaca
pasukan mana yang membela?
Dan, seperti selalu
sejak dulu
adat sediakala
permainan yang mengerikan ini
serta merta segala
dengan hidangan terakhir: malapetaka
Maka seperti biasa
korban-korban bergelimpangan
yang sebagian besar:
makhluk tak berdosa
MANCING DI KALI CIMANUK
Sehabis naik bukit ini, pohon loa,
Belok kanan, lalu lembah. Akhirnya air
Batu dan pasir begini melulu dari dulu
Dan air terus saja mengalir
Tak peduli sudah berapa kali
Penduduk sini mati berganti
Anak-anak masih juga suka bermain
Di sini, telanjang bulat, berkelahi
menggali pasir, nyemplung di air
Hanya bukan yang dulu lagi!
Mereka telah lama pergi
dari kampungnya, mengembara
entah ke mana
Lalu dunia mulai terdiam:
ujung joran bergerak-gerak!
Seakan tak ada lagi yang tampak
selain joran, tali pancing, nafas sesak
serta air riuh bergelucak
Jika dunia hanya begini saja
Alangkah damainya!
Hanyalah takut
kaki sebawah kutut
lama-lama akan membatu
dan berlumut
MENGAJI
Mengapa tidak basa jawa
atau sunda
supaya nenek bisa membaca?
Tapi,
bukankah tiap baris puisi
kalau terialu jelas mengerti
rasanya basi, kurang patri?
Keindahan, kata orang
menyelinap
merayap
lalu mengendap
Serta bayang-bayang ajaib, mengintip
naik ke bukit
di mana Nabi
bagai bertubi-tubi
ketiban wahyu Ilahi
Dalam kitab suci semua orang disayangi
. Pelacur, penjahat dan para penjudi
termasuk tentara dan polisi
Sifat yang keji
itulah mesti dijauhi
tenung dan sihir
bukan penyair
PENYAIR, YANG LAHIR DI TANAH AIR
Inilah aku,
Burung unta dari seberang
Bulu-bulunya terbuat
Dari pantun, sajak dan tembang
(Vladimir Mayakovski)
Burung unta dari seberang
Bulu-bulunya terbuat
Dari pantun, sajak dan tembang
(Vladimir Mayakovski)
Di balik puncak segala kemegahan
Meringkiklah aneka behcana, duka nestapa
Bangsa yang primitif menari-nari
Di atas kepala-kepala kurbannya
Maka nabi pun berkata:
"tunjukkanlah jalan kepada mereka"
II
Semarak warna api pada senja, saat-saat ajal tiba
Tumbuhnya kerajaan gelap, seorang pun tak tahu
Unsur demi unsur lenyap, tiada gejala
Tak ada yang berteriak, tak ada buka suara
Melalui tubuhnya yang dingin, tergeletak
Tergores sejenak:
"dari asal pulang ke asal"
III
Di jalan-jalan yang sesat, di pojok-pojok ketololan
Perempuan-perempuan centil dan genit
Memasang jerat, menghimpun maknit
Dan tak tahulah kita, apa ini sorga atau neraka
1001 macam impian dalam 1001 macam permainan
Usialah yang menandainya, sudah cukup tuakah
kita?
Ketika bayang-bayang maut merangkak pada
tengkuk dan pundak
Semuanya baru ingat, semuanya baru tahu
Juga para dewa, kecuali yang satu
Bahwa sebenarnya bukan begitu
Maka mereka pun berdoa, buat kesekian kalinya:
"ampunilah segala dosa"
IV
Kuasa tanpa senjata, panglima tanpa tentara
Itulah nasib, mendadak menyapa kita
Memberi perintah buat menyerah
Hanya para mertua yang penuh curiga
Atas menantunya yang banyak bicara
Melihat pada keping-keping kebodohannya
Tersembunyi pada hati yang kurang teliti
Dan batuk mendeham, sekedar menutup
kepalsuannya
Masam rasa yang menari di atas kemanisan muka
"Jam dua belas malam, bangun tersentak
Kulihat istriku dan anak-anak
Nyenyak tertidur, barangkali sedang mimpi
Di sini, tak ada mistik
Demikianpun politik
Hanya selimut buat mereka, dan nyamuk pada pipi
Hams kujentik"
Melalui celah-celah tembok, langkah-langkah mata
Menyusuri bayang-bayang masa, abad demi abad
Dan tumpukan waktu, hingga zaman jahiliyah
Di rnana bayi-bayi yang rnurni dan perempuan-
perempuan tak berdosa
Mestikah teljadi, berkali-kali, justru pada abad ini?
Sentuhlah dahi, bahwa semua itu pernah selalu
terjadi
VI
Umpan-umpan pada kail mata pancing
Ikan-ikan yang malang
Kebutaan demi kebutaan terhuyung, dipapah oleh
kedunguan
Tersaruk-saruk, di lorong-lorong kepicikan
Penyair yang lahir hari ini
Pulang pergi dicaci-maki, sia-sia kata
Tanpa banyak ambil perduli, atau dicurigai
Bikin pusing bapa menteri, dan jawatan imigrasi
Duhai penyair, yang lahir di tanah air
Lorca dan Ltimumba, Hafiz dan Tagore
O Ronggowarsito, bilanglah pada Hasan Mustafa
Inilah aku,
Tempat asal Indonesia
PIDATO SEORANG PETANI
MENJELANG AKHIR HAYATNYA
Teman-teman setetangga
Akhirnya kita berpisah juga,
domba-domba pulang ke kandang
burung-burung pulang ke sarang
cuma, inilah bedanya:
aku tidak akan kembali
ke ladang seperti biasa
karena jagung punya umur
kacang punya usia
dan akulah padi
yang tidak berbenih lagi.
Semua karena tiba waktunya
jalan sudah sampai di batas
sungai sudah tiba di muara
begitulah usia, begitulah manusia
apalagi aku
petani yang ketiban penyakit.
Kuucapkan terima kasih
kepada kalian, teman seperiuangan
yang telah berjalan bersama
bekeija bersama, menggarap tanah
bukan punya kita.
Namun demikian kita fetap gembira
atau seakan-akan gembira
demi terlihat oleh anak cucu kita
yang juga akan seperti kita
ataukah lebih dari kita?
Namun sebagai orang tua mengharap
supaya kata-kata lebih
tidak dalam arti lebih buruk
kuharap mereka lebih baik dari kita.
Sekali lagi kuucapkan
terima kasih
kepada teman-teman
yang sudi menengok waktu sakit
meski tak punya duit.
Hanya, dalam pada itu
maafkan jika keterlaluari
bukan tidak tahu aturan
cuma karena desakan hati
yang tak tertahankan.
Maaf, bila kuberkata:
apakah maknanya ini
upacara setengah keramat
atau puji-pujian mengantar mayat?
Bila ada yang menangis
silahkanlah, menangis
sepuas suka —
karena malaikat, datang bagaikan kuat
tidak seperti penarik pajak
yang dengan teliti cermat
menagih rakyat melarat...
(Ketika jam tiga lewat
maka, setelah kakinya tersentak
sejenak
lalu mata pun tertutup
dan nafasnya berhentilah)
4 comments:
80 tahun dodong djiwapradja
http://dodong.djiwapradja.com/
Gostei muito do poema Puisi de Dodong Dijiwapradja e publiquei uma parte do poema no meu blog, no seu idioma e no meu.
Um abraço.
Por favor Sonia... Estou alegre ouvir que. Convenientemente se que aconchegar you a apreciate Indonésia poesia
Quando puder, visite o meu blog e deixe lá o seu comentário.
Abraços.
Post a Comment