KEPADA PARA PENYAIR PIDATO CHAIRIL ANWAR 1989, IMAJINAR
Malam ini kalian berkumpul di sini untuk mengenang aku. Aku memang suatu fenomena yang menarik dalam sejarah perpuisian modern kita. Sudah 40 tahun aku pergi, tapi selalu aku dikenang. Padahal sajak-sajakku meski sebagian masih diingat disenangi orang, semakin ada suara yang merasakan sudah hampir tidak relevan untuk zaman kalian.
Aku tahu dalam acara-acara lomba puisi atau acara baca puisi sajak-sajakku kurang dibaca. Orang semakin lebih senang membacakan sajak-sajak para penyair sezaman: Goenawan Mohamad, Rendra, Taufiq Ismail, Subagio Sastrowardoyo, Sapardi Djoko Damono, Abdul Hadi WM, dan lain-lain. Teori persajakanku itu tidak digugat, tapi improvisasi yang aku benci itu, Timur dan sub-kultur dipakai habis-habisan dalam menyair. Namun tidak berarti konsep persajakanku itu kuno. Yang benar konsep persajakan kalian yang beragam itu dan konsepku saling memperkaya khazanah pemikiran perpuisian modern kita.
Kenapa aku selalu diperingati? Para penyair, dalam kesempatan ini baiklah aku katakan terus terang kalian membutuhkan aku. Kalian ingin apresiasi terhadap puisi meluas di masyarakat. Inilah salah satu sebab yang menjadikan aku masih tetap penting untuk masa kini. Aku bisa kalian tampilkan sebagai bukti bahwa puisi telah ikut ambil bagian dalam masyarakat. Seperti pernah ditulis Leon Agusta, aku ini penyair pejuang. Dan aku memang diakui oleh yang bukan penyair bahwa aku memang ambil bagian dalam perjuangan bangsa ini. Sajak-sajakku dibacakan di berbagai acara peringatan nasional, sementara sajak-sajak kalian hanya dibacakan di acara-acara apresiasi puisi. Di monumen pahlawan di kota kecil Pare-pare misalnya, sajakku dicantumkan. Nah, kalian bisa bilang siapa bilang penyair tidak bisa dan tidak pernah ambil bagian.
Aku tahu dalam acara-acara lomba puisi atau acara baca puisi sajak-sajakku kurang dibaca. Orang semakin lebih senang membacakan sajak-sajak para penyair sezaman: Goenawan Mohamad, Rendra, Taufiq Ismail, Subagio Sastrowardoyo, Sapardi Djoko Damono, Abdul Hadi WM, dan lain-lain. Teori persajakanku itu tidak digugat, tapi improvisasi yang aku benci itu, Timur dan sub-kultur dipakai habis-habisan dalam menyair. Namun tidak berarti konsep persajakanku itu kuno. Yang benar konsep persajakan kalian yang beragam itu dan konsepku saling memperkaya khazanah pemikiran perpuisian modern kita.
Kenapa aku selalu diperingati? Para penyair, dalam kesempatan ini baiklah aku katakan terus terang kalian membutuhkan aku. Kalian ingin apresiasi terhadap puisi meluas di masyarakat. Inilah salah satu sebab yang menjadikan aku masih tetap penting untuk masa kini. Aku bisa kalian tampilkan sebagai bukti bahwa puisi telah ikut ambil bagian dalam masyarakat. Seperti pernah ditulis Leon Agusta, aku ini penyair pejuang. Dan aku memang diakui oleh yang bukan penyair bahwa aku memang ambil bagian dalam perjuangan bangsa ini. Sajak-sajakku dibacakan di berbagai acara peringatan nasional, sementara sajak-sajak kalian hanya dibacakan di acara-acara apresiasi puisi. Di monumen pahlawan di kota kecil Pare-pare misalnya, sajakku dicantumkan. Nah, kalian bisa bilang siapa bilang penyair tidak bisa dan tidak pernah ambil bagian.
Apalagi akhir-akhir ini kalian dituding oleh sekelompok intelektual bahwa kalian asyik sendiri. Kalian dianggap tidak memperdulikan masalah yang ada di dalam masyarakat. Dan kalian dianjurkan membuat sajak-sajak sesuai dengan konsep mereka.
Para penyair, aku ingatkan kalian, jangan ragu-ragu. Jangan biarkan puisi kalian jatuh jadi perpanjangan tangan ambisi sekelompok intelektual yang selera sastranya masih bisa kita ragukan. Asyiklah selalu kalian pada diri sendiri. Tapi bukan berarti "menceraikan diri dari penghidupan, bersendiri," seperti yang pernah aku katakan dalam pidato radioku itu. Hidup reguklah dengan tuntas kehidupan zamanmu, satupadukan ke dalam dirimu, lantas jika engkau berasyik-asyik dengan dirimu engkau sebenarnya berasyik-asyik dengan zamanmu, engkau bisa dapat tempat, dicatat!
Aku tidak habis heran kenapa para intelektual repot-repot merekayasa penyair. Kenapa mereka tidak menyibukkan diri menulis buku-buku untuk menandingi karya-karya sarjana semacam Hobbes, John Locke, Gaetano Mosca, Rousseau, Weber, Alvin Toffler. Kenapa mereka lebih senang jadi komentator atau resensor buku. Ikan kecil memang selalu makan dari tangkapan ikan besar!
Semua tahu aku sangat concern terhadap masalah dalam zamanku. Lihat dalam tulisanku "Hopla", aku menyayangkan majalah "Pujangga Baru" yang lahir bersamaan dengan munculnya kekuasaan Hitler di Jerman, tapi majalah ini selama hidupnya hanya memuat satu artikel dangkal tentang fascisme! Dan masih dalam "Hopla" aku mempertanyakan para seniman yang patuh dicekoki dengan garis kebudayaan penjajahan Jepang, "tidakkah mereka tahu beratus-ratus seniman Eropa (Jerman, Italia), di Jepang sendiri, menentang dengan pertaruhan jiwa, yang meninggalkan negeri yang dicintai mereka karena aliran kebudayaan paksaan ini."
Sikap kepenyairanku, itulah yang sangat penting: Aku tidak mau kesenianku diletakkan dalam subordinasi politik. Aku sangat concern pada perjuangan bangsaku, tapi sajak-sajakku aku jaga benar untuk tidak jatuh jadi slogan.
Tetaplah jalan kesenian yang aku pakai dalam mengungkapkan perjuangan zaman dan diriku. Meletakkan puisi selalu merdeka bebas, tidak takluk dalam subordinasi politik, itulah arti paling penting dari kepenyairanku - disamping kepeloporanku dalam puisi Angkatan 45 - seperti yang ditunjukkan oleh sajak-sajakku. Selama suatu zaman masih terasa ada ancaman terhadap kebebasan perpuisian dan sastra selama itu aku terasa relevan.
Kini aku telah menjadi bahasa atau lambang bagi para penyair atau seniman dalam berdialog dengan masyarakat yang bukan seniman, dengan para intelektual. Jika kalian menyebut Chairil itu berarti begitulah hakikatnya kepenyairan. Ia bebas dan dengan kebebasannya ia juga ambil bagian terhadap sekitarnya. Itulah makna kehadiranku dalam perpuisian zamanku, zaman kalian dan mungkin untuk seribu tahun lagi! Itulah hakekat Chairil itu! Selebihnya embel-embel selalu dikaitkan setiap orang mengenang aku. Misalnya aku selalu disebutkan bersikap habis-habisan dalam menulis sajak, tidak suka kerja kantoran, dan lain-lain. Semua kekaguman ini tidak kuacuhkan benar. Karena memang setiap penyair serius selalu habis-habisan dalam menulis sajak. Dan bukan soal tahan kerja kantor atau tak, yang bikin seorang penyair selalu dikenang. ***
AL HAJ SUTARDJI CALZOUM BACHRI
(Disampaikan dalam diskusi "Sebuah Refleksi 40 tahun sesudah Chairil Anwar", 28 April 1989 di Taman Chairil Anwar, Monas, Jakarta).
0 comments:
Post a Comment