Wawancara dengan Rahwana
oleh: Yudistira ANM Massardi
Sesaat sebelum Anoman menyungsepkan kepalanya ke dasar bumi, Rahwana sempat menghujat: “Jasadku boleh jadi lenyap sesudah ini, tetapi jisimku akan tetap hidup. Menyusup ke dalam jiwa setiap manusia. Sepanjang abad…”
Bumi yang menghimpitnya, kemudian menelan dan melumatnya. Langit menggelegar. Lalu kelam. Dari rekahan tempat tokoh tragis penguasa Alengka itu terbenam, menghambur jutaan gelembung hitam yang serentak menyebar ke seluruh jagad.
Sanjaya –wartawan perang pertama di dunia yang menjadi penyiar pandangan mata pertempuran besar Keluarga Bharata di Kurusetra dan sempat juga menyaksikan kematian bandit besar tadi –segera menguber. Ia minta tolong pada Anoman untuk dibenamkan ke dalam bumi, menuju akhirat, mengikuti arwah Rahwana.
Berikut ini petikan wawancara Sanjaya dengan biang segala kejahatan itu.
Sanjaya (S): “Setujukah anda dengan cara dan kematian yang barusan anda alami?”
Rahwana (R): “Kematian atau pun kehidupan, bukanlah hal yang perlu disetujui atau tak disetujui. Keduanya adalah hal yang amat sederhana, sehingga tak perlu dipersoalkan benar. Sedangkan ‘cara’ begitu pentingkah hal itu? Manusia memang punya bermacam-macam kebiasaan buruk. Sebagaimana halnya anda, mereka selalu bernapsu untuk mempertanyakan bagaimana cara seseorang mati dan bagaimana cara seseorang hidup. Itu adalah pertanyaan tragis yang hanya dimaksud untuk kepentingan dramatik dari lakon yang dimainkan.
Cara kematian saya yang anda tadi saksikan, memang dramatis. Bagaimana seseorang yang sangat berkuasa, sakti mandraguna dan kaya-raya, menemui ajal secara begitu nista dan tanpa daya. Itulah ketentuan yang sudah digariskan. Tapi anda harus yakin. Saya tidaklah mati dalam pengertian yang biasa. Sebab pada dasarnya saya tetap hidup. Kematian saya adalah sarana bagi kehidupan langgeng jisim saya di dunia.
Kehancuran jasad saya adalah untuk keperkasaan jisim saya. Anda bisa buktikan nanti, sesudah peristiwa ini maka dunia akan dipenuhi gelembung-gelembung…anda melihatnya tadi? (Sanjaya mengangguk). Itulah bentuk kekuasaan saya yang baru. Suatu kejahatan yang tangguh.
Nah, haruskah saya memprotes cara dan kematian saya? Tidak bukan? (Sanjaya menggangguk lagi). Dan cara hidup saya selama jadi penguasa Alengka, apakah akan anda ungkapkan secara menyolok untuk kepentingan dramatik tadi? Oya, mau disiarkan di mana wawancara ini? Ah, tidak, tidak. Disiarkan atau tidak, tak penting bagi saya. Tapi cara hidup saya, cara saya mengendalikan kekuasaan, cara saya memanjakan saudara-saudara dan sanak keluarga saya, agaknya memang penting diungkapkan dalam laporan anda nanti. Tulislah apa pandangan anda tentang semua itu. Bongkarlah apa yang selama ini anda anggap sebagai skandal. Ganyanglah semuanya kalau memang cukup dramatis untuk diganyang. Saya tidak akan sedih. Sebab saya akan berada di dalam jiwa semua pengganyangnya. Saya akan berada dalam darah setiap orang yang ingin mengangkangi sisa kekuasaan serta harta benda saya. Tugas jisim sayalah untuk menggebrakkan semua itu.
S: “Bisakah anda gambarkan secara konkrit besarnya kekuasaan itu?”
R: “Sebesar kosmos.”
S: “Apakah anda menguasai setiap manusia?”
R: “Setiap manusia memiliki naluri kejahatan.”
S: “Apakah keuntungan anda dengan kekuasaan semacam itu?”
R: “Selalu saja begitu. Setiap orang selalu berpikir mengenai keuntungan dan kerugian. Apa sih pentingnya kedua hal itu? Dan anda tentu tahu, saya bukan pedagang. Betapa pun durjananya, kasta saya adalah kesatria. Kesatria tidak pernah berpikir seperti pedagang. Keuntungan atau kerugian tak ada artinya. Yang penting bagi saya adalah konsistensi terhadap cita-cita perjuangan. Saya harus memelihara kefatalan dan kehancuran martabat manusia. Tugas dan kewajiban sayalah membangun keangkaramurkaan di muka bumi ini.”
S: “Apakah tugas anda itu membuat anda pedih?”
R: “Aaah! Bagaimana sih, anda ini? Kesedihan, kegembiraan dan segala macam bunyi perasaan semacam itu, sebagaimana keuntungan dan kerugian, tak ada artinya bagi saya. Kesatria tidak secengeng itu. Seorang kesatria yang menggenggam suatu kekuasaan besar, tak boleh menjadi melankolis. Ia harus tegas mengemban tugasnya. Sentimentalitas semacam itu hanya milik para budak. Para Sudra. Sebab sekali seorang kesatria membiarkan dirinya terhanyut oleh perasaan, ia akan guyah. Kekuasaan akan luput dari tangannya. Sesudah itu adalah keruntuhan. Paham? Seorang kesatria pantang kehilangan apa yang sudah menjadi miliknya. Milik itu harus dipertahankan sampai titik darah penghabisan. Tak ada kompromi.”
S: “Juga seandainya orang yang berada di bawah kekuasaan anda sengsara?”
R: “Kesengsaraan dan penderitaan para kawula adalah bagian terpenting dari kekuasaan mutlak. Tanpa ada kesengsaraan, tidaklah ada artinya sebuah kekuasaan. Tanpa penderitaan orang banyak bahkan tak mungkin sebuah kekuasaan bisa hadir dan kukuh.”
S: “Kalau ada kritik mengatakan bahwa anda tak mau mendengar atau memperhatikan keluhan para kawula...?”
R: “Kritik? Itu adalah bagian terindah dari kukuhnya sebuah kekuasaan. Kritik penting dari segi dramatik. Rintihan dan keluhan para kawula adalah tembang lirih bagi impian sepanjang malam.”
S: “Anda betul-betul sadis.”
R: “Seorang penguasa yang baik harus sadis. Dan kekuasaan yang ada dalam genggaman saya adalah sadisme. Karena itu dibutuhkan banyak kurban. Sebagai tumbal. Juga sebagai syarat bagi kelanggengan kekuasaan itu.”
S: “Apakah anda juga menguasai para penguasa di dunia ini?”
R: “Kenapa tidak? Setiap penguasa, setiap kekuasaan yang ada di dunia, adalah instrumen yang mengumandangkan nyanyian setiap gelembung hitam yang menghambur dari tempat jasad saya tadi nyungsep.”
S: “Apa komitmen anda dengan para penguasa itu?”
R: “He? Itu rahasia….”
S: “Baiklah. Anda nanti akan memilih surga atau neraka?”
R: “Busyet. Kenapa anda tanyakan itu? Tentu saja saya akan memilih neraka. Saya sarankan, kalau anda mati nanti, lebih baik masuk neraka saja. Di sana banyak masalah yang perlu anda dalami. Saya kira sebuah reportase dari neraka akan jauh lebih menarik. Sebab, sebagaimana tadi saya bilang, manusia kan lebih menyukai hal-hal dramatik? Surga terlalu tenang. Terlalu damai, sehingga tak ada masalah lagi. Tapi di neraka, setiap saat terjadi hiruk-pikuk dan bermacam penderitaan kumpul jadi satu di sana. Anda bisa wawancarai mereka. Segala kepedihan dan penyesalan yang mereka kemukakan tentu sangat baik untuk dijadikan peringatan bagi yang masih hidup, bukan? Untuk itu, tentu anda akan memperoleh pahala. Juga di tempat itu, anda bisa bertemu dengan semua penguasa dunia yang menghamba pada keserakahan.”
S: “Pertanyaan terakhir. Apa pendapat anda tentang Dewi Sinta, istri Sri Rama yang pernah anda culik itu?”
R: “O, very good! Very good!”
S: “Terima kasih.”
(Berikutnya, wawancara Semar dengan Marilyn Monroe)
Jakarta, Mei 1980.
2 comments:
salam kenal bro,postinganya keren2 bro
Salam kenal juga mas Hikmah Gumelar... Terima kasih u/ kunjungannya. Kritik dan saran selalu ditunggu. Rajin2 berkunjung ya....
salam...
Post a Comment