Di Meja Perjamuan
Cerpen Evi Idawati
Cerpen Evi Idawati
Seakan embun yang menggumpal dari pekat kabut dan udara yang menempel di daun pagi ini, kekasihku. Tetesan yang jatuh perlahan dari ujung ke rimbun, seperti detak jantungku. Sunyi menggelepar di meja perjamuanku.
Menarik tanganku untuk menyentuhnya. Aku tak ingin membedahnya atau menari bersamanya. Sendok dan garpu di meja perjamuanku hanya menjadi patung abadi dari kegelisahan. Sepi yang menggantung di dinding telah jatuh. Dengan segenap hatiku, aku menangkapnya. Mendekap dan menyetubuhinya.
Aku tak bisa beranjak dari kursi di meja perjamuanku. Hidangan yang terhampar seperti lukisan mati. Hitam dan putih. Goresannya tegas dan kuat. Tanganku tak mampu melenturkannya atau menggantinya dengan beragam warna. Lalu suara sayup dari jauh menusuk. Nyeri yang terkirim lewat udara dan mengantarkannya untukku, memperlambat detakan jantungku. Aku semakin terpaku.
Suara ketukan mengejutkan, ibarat gong pertama diawal pertunjukan. Aku hanya mampu mengerdipkan mataku. Menajamkan pendengaranku. Aku hendak bangkit, membuka pintu. Tapi ketukan itu beku. Mendinginkan waktu. Aku menggigil sambil mencengkeram kuat telapak meja. Tak kuat menahan lama jari-jariku melepaskannya. Karena tak ada tenaga.
Menarik tanganku untuk menyentuhnya. Aku tak ingin membedahnya atau menari bersamanya. Sendok dan garpu di meja perjamuanku hanya menjadi patung abadi dari kegelisahan. Sepi yang menggantung di dinding telah jatuh. Dengan segenap hatiku, aku menangkapnya. Mendekap dan menyetubuhinya.
Aku tak bisa beranjak dari kursi di meja perjamuanku. Hidangan yang terhampar seperti lukisan mati. Hitam dan putih. Goresannya tegas dan kuat. Tanganku tak mampu melenturkannya atau menggantinya dengan beragam warna. Lalu suara sayup dari jauh menusuk. Nyeri yang terkirim lewat udara dan mengantarkannya untukku, memperlambat detakan jantungku. Aku semakin terpaku.
Suara ketukan mengejutkan, ibarat gong pertama diawal pertunjukan. Aku hanya mampu mengerdipkan mataku. Menajamkan pendengaranku. Aku hendak bangkit, membuka pintu. Tapi ketukan itu beku. Mendinginkan waktu. Aku menggigil sambil mencengkeram kuat telapak meja. Tak kuat menahan lama jari-jariku melepaskannya. Karena tak ada tenaga.
Kembali aku menatap sunyi yang menggelepar di meja perjamuan. Meski lapar seleraku hilang. Hanya inilah yang terhidang. Kumpulan dari segala nyeri dan duka. Bumbu dari kepedihan dan nestapa. Tak kuasa aku menelannya. Tapi aku tak akan bisa menguatkan kaki untuk beranjak, berdiri, apalagi berlari jika sampai sumsumnya aku tak memakannya. Aku hendak muntah, karena menahan diri untuk diam dan berpuasa. Tapi sudah berbulan-bulan waktu berjalan, jika aku diam, kematian yang akan datang. sekarang aku tak punya tenaga untuk menggerakkan tangan apalagi berkata. Aku meletakkan telapak tanganku dimeja. Menggesernya perlahan, mengambil pisau disisi kanan. Dengan sisa tenaga yang aku punya, aku mengangkat pisau dan menggerakkannya. Aku menyentuh jari sunyi dengan tangan kiri. Menariknya mendekat. Lalu memotongnya.
Kemudian aku diam. Aku berharap sunyi merintih didepanku dan menghiba padaku untuk tetap membiarkannya berdiam dan mukim dimeja perjamuanku. Tapi sunyipun mati. Dia tidak merintih apalagi menghiba. Dia memandangku dengan matanya yang dingin. Seakan mengejek dan mengatakan, aku hanya perempuan pengecut yang tidak berani melahapnya meski sekian lama dia menggoda. Ibarat khuldi, dia pernah menarikku untuk memetiknya. Seakan malam, aku ingin mencicipinya. Tapi genderang yang terdengar setelahnya menampar dan menampar. Sekarang aku hanya memotong jarinya, membakar dan memakannya. Rasanya angus karena gosong. Api yang aku nyalakan terlalu besar untuk mematangkan secuil jari sunyi. Tapi aku toh tetap memakannya. Untuk bertahan. Tak ingin terpaku terus menerus dikursi dengan sunyi yang menggelepar dimeja perjamuan. Aku ingin memusnahkannya. Hanya ada satu cara. Aku harus memakannya.
Tapi sunyi yang menggelepar di meja perjamuan ini kekasihku, bangunan dari pedih dan dukaku. Kamu tahu, jari-jarinya aku tabung dari tetesan airmata. Tubuhnya aku bentuk dari kesendirianku ditengah malam. Dari redaman bisikan gairah dan rindu yang tak padam. Sementara wajahnya, aku ambilkan dari bintang-bintang yang terhampar. Aku memetiknya dari langit malam. Jika langit membelah dan mengirimkan jembatan. Aku menujunya membawa keranjang cinta dan meletakkan bintang di dalamnya. Bagaimana aku hendak memakannya.
Namun jarinya sudah terpotong. Dengan angusnya masuk ke tubuhku mengisi perutku. Barangkali sekarang sudah menyatu dengan darahku. Aku tak boleh berhenti untuk terus memakan dan memusnahkannya. Tapi aku tak tega. Terkadang aku merasa hidupku selesai hanya dengan memandangnya. Ada saatnya dia begitu berkilau dan mempesona. Itulah yang membuatku terpaku. Bertahun-tahun lamanya. Asyik duduk menghadap meja perjamuan dengan sunyi yang terhampar. Hari berjalan, waktu yang mengendap lambat tak membuatku sadar. Semua sudah berubah tapi aku masih lena dengan langit dan bintang. Dengan pikatan sunyi yang memabukkan.
Sementara aku semakin tidak berdaya dan tidak punya tenaga. Sudah begitu lama malam menggauliku dan aku tidak bisa beranjak darinya. Untuk menggerakkan jari tangan saja. Aku harus meyakinkan diri berjam-jam bahwa aku sanggup melakukannya. Terkadang ingin kuhabiskan waktuku hanya dengan memandang sunyi. Biarkanlah aku mati jika takdirku hanya memakuku di kursi ini. dan suara-suara dari jauh yang kadang dikirimkan membuatku bangun dan tersadar. Bukan dengan cara seperti ini aku memujamu, kekasihku.
Maka aku kuatkan hati untuk melahap sunyi. Menghabiskannya malam ini. aku akan menggunakan segala cara untuk memusnahkannya. Aku tikam jantungnya. Mencacah dan mencincang tubuhnya. Membakar dan memasaknya. Aku mengambil pisau yang terbuat dari ragam kenangan pahit dari silamku.
Dengan kaki gemetar aku berusaha berdiri. Menggeser kursi ke belakang. Aku lihat sekali lagi sunyi. Aku menutup mata dan berbalik melangkahkan kaki. Menjauhi meja perjamuan. Langkah kakiku yang lambat seakan batu yang memberat. Aku ambruk ditanah. Sambil duduk aku mencoba meraih pisau yang jatuh. Seperti menyayat kulit dari dagingku dalam kebisuan aku mengasah pisau. Menajamkannya.
Agar bisa kubunuh sunyi dan memusnahkannya dari meja perjamuanku. Setiap kali kugesek pisau, terasa nyeri di seluruh badanku. Sakitnya melenting, melompat-lompat, berpindah-pindah merajai seluruh tubuhku. Setiap kali kugesek, darah mengalir dan mengucur dari lukaku. Luka lama yang sepanjang usia mengigilkan aku. Ingin aku berhenti, tapi tak kuasa kukendalikan jari. Lirih suara mengaduh dari bibir yang gemetar. Aku mabuk dalam nyeri.
Sedang pagi sudah lewat hari dan aku masih mengasah sunyi. Tekad hati untuk beranjak telah berhenti. Tak ada kehendak apa-apa kecuali menjatuhkan airmata. Aku menyayat diriku sendiri. Pedihnya menjadi kebisuan abadi. Aku tak ingin berdiri dan membunuh sunyi. Biarlah aku memandang dan menikmatinya. Bumi memangkuku menjadi tempat membuang segala lara. Aku memaku mataku dengan gerakan tangan yang gemetar, aku meraba ujung pisau dan menyentuhnya. Tajam. aku menempelkan ujungnya di dadaku. Menggores kulit dadaku. Lalu turun ke bawah hingga ke ulu hatiku. Aku menghentikan ujung pisau disitu. Hanya perlu satu hentakan untuk menuntaskan semuanya. Jika aku membunuh sunyi maka sama saja aku memusnahkan diriku sendiri. Sekaranglah saatnya.
Meski, embun yang menggumpal dari pekat kabut dan udara yang menempel didaun pagi ini, kekasihku. Luruh oleh kepedihanku. Aku tak akan mengakhiri dan membunuh sunyi. Biarlah dia terhidang senantiasa dimeja perjamuanku. Dan aku hanya memandangnya. Sesekali menikmatinya sambil mendendangkan lara.
Aku kembali pada kursiku dan aku tetap akan memujamu. Dengan segenap jiwa yang kadang rapuh, sambil menyebut namamu, aku akan menghidupkan sunyi, untuk bangun dan menciptakan tarian dari keselarasan. Aku dan dia telah menyatu. Menari meniti mimpi.
Dan siapapun tak bisa mengganggu. Kecuali dirimu.***
* Jogja 2008
0 comments:
Post a Comment