Siti Mariah
Hikayat Siti Mariah ini menceritakan petualangan dan kisah roman di seputar dunia pernyaian atau pergundikan dengan tokoh utamanya, Siti Mariah, di zaman kolonial Belanda. Hikayat ini banyak mengungkap situasi mengenai dunia pernyaian di Indonesia pada zaman kolonial. Pernyaian atau pergundikan adalah lembaga perkawinan tanpa pengesahan dari negara maupun agama. Lembaga perkawinan ini terjadi karena pihak pria dalam posisi sosial-ek onomi yang lebih tinggi ketimbang pihak perempuan. Praktik pergundikan semacam ini lazim terjadi pada masa kolonial. Seorang pria kolonial, atau dalam hal ini penjajah Belanda, sebelum menikah resmi dengan perempuan bangsanya sendiri atau yang sederajat biasanya mengambil seorang atau beberapa gadis pribumi untuk dijadikan gundik atau nyai atau istri tidak resmi.
Kendati para nyai itu layaknya hidup sebagai seorang istri dan bahkan mempunyai anak dari pria kolonial, namun ia harus rela meninggalkan kehidupannya sebagai nyai manakala pria kolonial tersebut memutuskan menikah dengan perempuan bangsanya sendiri. Sebagai konsekuensinya ia bahkan harus rela melupakan bahwa ia pernah bersuami dan mempunyai anak yang pernah dilahirkannya.
Diceritakan bahwa Siti Mariah adalah anak di luar perkawinan antara Elout van Hogerveldt, seorang kontrolir tebu, dengan seorang gadis pribumi bernama Sarinem. Ketika lahir, Siti Mariah dinamai Urip. Ia diberi nama Urip karena pernah jatuh sewaktu lahir, namun bisa tetap hidup atau urip. Urip tidak pernah mengenal ayah kandungnya sendiri karena sewaktu ia masih dalam kandungan, ayah kandungnya, Elout van Hogerveldt, telah meninggal.
Urip pernah hampir dibuang ke jurang oleh Wongsodorono, seorang petani bertabiat buruk yang tak lain adalah ayah tirinya sendiri, sewaktu masih berumur sebelas bulan. Sarinem, ibu Urip, dipaksa kawin dengan Wongsodorono oleh ayahnya sewaktu hamil 7 bulan. Namun, Urip masih beruntung tidak jadi dibuang karena Wongsodorono akhirnya menjual Urip kepada Joyopranoto, seorang mandor gula di Sokaraja yang sudah lama berkeluarga namun belum punya anak.
Urip kemudian tumbuh menjadi gadis indo yang cantik dengan nama Siti Mariah. Kisah petualangan dan roman Siti Mariah dimulai ketika ia mulai menjalin cinta dengan seorang opsiner gula bernama Henry Dam. Ia kemudian dijadikan nyai oleh Dam dan memperoleh anak darinya yang diberi nama Ari.
Namun, kebahagiaan Mariah ternyata tidak berlangsung lama. Kehidupan rumah tangganya terusik lantaran pengaruh Nyonya van Holstein, pemilik pabrik gula tempat Dam bekerja. Dengan segala cara, termasuk dengan menggunakan jasa dukun, Nyonya van Holstein mempengaruhi Henry Dam untuk menjauhi Siti Mariah sehingga Henry Dam dapat menikahi putrinya Nona Lucie. Usaha tersebut berhasil, Mariah dipaksa keluar dari kehidupan Dam dan ia pun harus berpisah dengan anaknya, Ari. Setelah sempat kabur dari rumah keluarganya, menyamar jadi jongos dan menjadi Nyonya Esobier, Siti Mariah akhirnya dipertemukan kembali dengan Henry Dam dan anaknya, Sinyo Ari, berkat bantuan Sondari. Seperti juga dengan hikayat-hikayat lain, sang tokoh cerita akan memperoleh kemenangan setelah melewati petualangan yang hebat.
====Hikayat Siti Mariah sebelum diterbitkan kembali oleh Hasta Mitra dalam bentuk buku tahun 1987 sebenarnya sudah pernah dua kali diterbitkan. Pertama kali saat pengarangnya masih hidup diterbitkan dalam bentuk cerita bersambung di surat kabar Medan Prijaji yang dipimpin RM Tirto Adhi Soerjo di Bandung antara tahun 1910 - 1912. Kemudian masih dalam bentuk cerita bersambung, kurang lebih 50 tahun kemudian Lentera menerbitkannya kembali antara kurun waktu tahun 1962 sampai tahun 1965 dengan editor Piet Santoso Istanto.
Hikayat Siti Mariah karangan Haji Mukti ini penah dilarang beredar oleh Pemerintah Orde Baru. Kendati tidak dikarang oleh Pramoedya Ananta Toer, namun karena hikayat karya Haji Mukti ini kemudian diterbitkan kembali menjadi buku oleh Penerbit Hasta Mitra, dan yang menjadi editornya Pramoedya Ananta Toer, buku tersebut dilarang. Buku ini, bersama buku Gadis Pantai karya Pram, dilarang peredarannya oleh Kejaksaan Agung berdasarkan Surat Keputusan Kejaksaan Agung Nomor Kep-081/J.A/8/1988 pada tahun 1988. Hal ini disebabkan pemerintah pada waktu itu menganggap buku- buku tersebut bertentangan dengan Pancasila karena dianggap berbau ajaran komunis. Namun, belakangan seiring dengan runtuhnya rezim Orde Baru pada tanggal 28 Agustus tahun 2000 berdasarkan Surat Keputusan Jaksa Agung Nomor Kep-223/J.A/08/2000 mencabut pelarangan peredaran buku- buku karangan Pramoedya, termasuk di dalamnya buku Hikayat Siti Mariah. Tahun 2003 Hikayat Siti Mariah kembali diterbitkan oleh Penerbit Lentera Dipantara.
Hikayat Siti Mariah menduduki posisi yang cukup penting bagi sejarah perkembangan sastra pra-Indonesia karena merupakan satu-satunya karya sastra pra-Indonesia pada zaman tanam paksa (cultuur stelsel) antara tahun 1830-1890. Seperti yang tercantum dalam sampul buku tersebut yang berbunyi: "satu-satunya roman kurun ’tanam paksa’ 1830-1890". Selain itu, hal lain yang menjadikan hikayat ini berbeda adalah bahasa yang digunakan, yakni bahasa Melayu linguafranca. Pada masa itu atau saat Pemerintah Kolonial Belanda menjalankan politik etis, perkembangan sastra ditandai dengan adanya penggolongan sastra, yakni sastra yang "diakui" kekuasaan dan yang "tidak diakui" kekuasaan. Sastra dalam bahasa Melayu linguafranca masuk dalam kategori yang "tidak diakui" kekuasaan, akibatnya sastra tersebut dianggap sebagai sastra rendahan, bahkan Melayu linguafranca sering disebut sebagai Melayu pasar atau Melayu rendah.
Hikayat Siti Mariah adalah sebuah hikayat dalam arti sesungguhnya, yakni sebuah cerita petualangan yang hebat dari tokoh-tokoh utamanya yang di dalamnya juga terkandung kejadian-kejadian supernatural. Dalam hikayat ini salah satu tokohnya, yakni Sondari, saudara tiri Siti Mariah, dilindungi oleh keris pusaka yang bernama Plered. Satu hal yang menarik dari hikayat ini adalah sang pengarang, Haji Mukti, ikut menjadi tokoh penting dalam cerita yang ditulisnya. Haji Mukti tak lain adalah Sondari. Hal ini terungkap dalam petikan berikut: "Tuan dan Nyonya Dam tak melupakan sahabatnya, yang selama itu tinggal di Jeddah bekerja sebagai pembantu konsul, yaitu si Sondari. Tuan dan nyonya Dam mengunjungi Sondari di Jeddah, wahai sama-sama lain dulu lain sekarang. Sama-sama berpelukan dan berciuman, lumrah, belum ada batas yang memisahkan antara dua sahabat itu. Sondari belum masuk Islam, belum naik haji, ha-ha- ha-ha. Dan belum ganti nama Haji Mukti, ha-ha-ha".
Lalu siapa Haji Mukti sebenarnya? Sampai buku ini diterbitkan tidak diketahui siapa sebenarnya Haji Mukti. Bahkan, nama Haji Mukti pun tidak diketahui apakah nama samaran atau nama sesungguhnya.
Download? Klik di sini
0 comments:
Post a Comment