Salah Eja Sastra Jendra
YA, barangkali Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu sebuah bentuk kekalahan para dewa. Konon, ketika Dewi Sukesi menceritakan mimpinya tentang ajaran (?) itu, tiba-tiba bumi berguncang. Kayangan, dunia para dewa itu, seolah runtuh. Dewa-dewa marah, cemas.
Di depan putrinya, Prabu Sumali bahkan bersimpuh agar Sukesi mengurungkan keinginan menjadikan ajaran itu sebagai prasyarat pernikahan. Tapi putri Alengka itu bergeming. ''Aku tak akan pernah menikah sampai ada orang yang mengupas ajaran itu,'' jawabnya.
Negeri Alengka bergetar. Hujan tangis seolah turun dari kayangan. Sindhunata, dalam Anak Bajang Menggiring Angin, menggambarkan betapa gelap menutupi negeri leluhur Rahwana.
Apa sebenarnya Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu, sehingga ketika keberadaannya yang baru dalam tataran mimpi sudah begitu menggelisahkan Prabu Sumali, juga para dewa?
Sarasehan Rebo Legen di Sanggar Paramesthi, ''Sastra Jendra: Sastra (Ora) Cetha'', Selasa (1/10) malam lalu, pun tak memberikan penjelasan yang selesai, selain menawarkan banyak penafsiran tentang babak yang menjadi cikal bakal kelahiran Rahwana, Kumbakarna, Sarpakenaka, dan Gunawan Wibisana itu.
Ya, semuanya masih dalam bentuk penafsiran. Sudiyatmono, misalnya, menduga Sastra Jendra berasal dari Sastra Kajita Indera yang tertulis dalam Serat Sumawur, yakni sebuah ajaran tentang penguasaan pancaindera.
''Jadi, hidup itu pada akhirnya bagaimana manusia mengendalikan hawa nafsu yang dianalogikan lewat pancaindera.''
Melewati Tahap
Adapun Prof Soedjarwo memandang Sastra Jendra merupakan satu dari pengajaran dalam Lokapala (Sindusastra). Dua yang lain adalah Sastra Cetha dan Hasta Brata.
Dia justru mempertanyakan, kenapa Dewi Sukesi hanya berhasil meruwat Gunawan Wibisana, bukan tiga saudaranya yang lain.
Sayuti Anggoro berpendapat, sebenarnya Dewi Sukesi tak meruwat anak-anaknya karena keburu mati. Empat anak Wisrawa-Sukesi menjadi simbol sifat dasar manusia, yakni angkara (Rahwana), penyesalan (Kumbakarna), nafsu seks (Sarpakenaka), dan kebijaksanaan serta cinta (Gunawan Wibisana).
Lantas kenapa jika Sastra Jendra sebagai ajaran kasunyatan, ilmu kesempurnaan, sangkan paran, dan pembebas petaka, justru Bathara Guru dan seisi kayangan gempar?
Menurut pendapat Gunawan Budi Susanto, bisa jadi Sastra Jendra menyimpan rahasia ''kebobrokan'' para dewa. Dia juga melihat ''kitab'' itu memuat ajaran tentang bagaimana menjadi manusia sempurna.
Jika hal itu terjadi, maka kewibawaan para dewa akan terongrong. Mereka barangkali akan bertanya, jika derajat manusia naik setingkat dewa, lalu apa arti dewa-dewa?
Gunawan melihat komposisi yang sama dalam Syekh Siti Jenar yang mengabarkan ajaran manunggaling kawula Gusti. Maka Sastra Jendra menjadi sesuatu yang mencemaskan karena sebelum mencapai kesempurnaan, manusia harus melewati tahap syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat.
''Dalam pandangan para wali, Siti Jenar harus disingkirkan. Sama seperti ketika akhirnya Danaraja mengusir ayahnya sendiri, Wisrawa, dan Dewi Sukesi.''
Tapi, tentu saja itu hanya satu dari banyak penafsiran. Jadi sah-sah saja ketika Sucipto Hadi Purnomo melihat bahwa Sastra Jendra sebagai kesalahan Yasadipura dalam mengeja dan menafsir.
Entahlah. Tapi apa pun sarasehan bulanan di Joglo Paramesthi itu sungguh gayeng. Sebelumnya, penggurit Sendang Mulyana, Sudiyatmono, Bowo Kajangan, Gunawan, dan Arsita tampil dalam ''Gurit Telek Lencung''.
(Ganug Nugroho Adi-75, Harian Umum Suara Merdeka, Kamis, 3 Oktober 2002)
Download tulisan ini? Klik di sini
Download tulisan ini? Klik di sini
0 comments:
Post a Comment