Wayang dan Sastra Indonesia Mutakhir
Tak dapat disangkal bahwa genre seni tradisi pertunjukan yang paling banyak dieksplorasi oleh para sastrawan mutakhir Indonesia adalah wayang. Prototipe wayang itu sendiri sering disebut sebagai puncak seni tradisional klasik Jawa, bahkan mendapat gelar adiluhung. Dalam masyarakat Jawa, kisah-kisah dalam wayang tak sekedar hiburan belaka, namun juga dianggap sebagai tuntunan. Dianggap sebagai ngelmu atau falsafah kehidupan yang bisa memberi katarsis bagi para penontonnya.
Bagi orang Jawa menonton wayang tidaklah sekedar menonton kesenian, melainkan untuk meneguhkan kembali jiwa manusia Jawa mereka, menggali kembali falsafah nilai, sikap hidup, atau dengan kata lain menonton wayang merupakan aktivitas latihan memelihara keyakinan dan nilai-nilai kearifan mereka.
Sears dalam bukunya Shadow of Empire (1996) mengatakan bahwa ada kebijakan mistik yang melekat pada wayang yang dianggap memiliki "kebenaran". Mangkunegara VII menguatkan hal tersebut melalui tulisannya On the Wayang Kulit (purwa) and its Simbolic and Mystical Elements. Dalam tulisan tersebut beliau menyarankan agar setiap lakon wayang Jawa melakukan kembali pencarian spiritual. Unsur mistik inilah salah satu magnet yang membuat daya pukau wayang terhadap para penontonnya.
Selain itu, wayang sebagai seni pertunjukkan memiliki peluang sebagai sarana kritik yang halus dan simbolis. Bagi masyarakat Jawa, kritik harus disampaikan dengan cara bijak, halus, dan simbolis sehingga tidak mengganggu keharmonisan dalam tata kemasyarakatan. Untuk menyampaikan kritik semacam itu masyarakat Jawa melakukannya melalui pasemon. Dan, wayang kaya akan pasemon. Pasemon dalam wayang muncul dalam bentuk narasi yang kuat atau pada dialog-dialog yang memungkinkan satu kisah yang sarat kritis disajikan dalam bentuk karikatural. Seorang dalang dapat dengan leluasa melalui pasemon-pasemon menyampaikan kritik-kritik politik atau kritik sosialnya.
Daya tarik-daya tarik itulah yang agaknya menjadikan wayang juga menjadi pesona tersendiri bagi sastrawan-sastrawan mutakhir Indonesia untuk mengeksploitasinya. Mereka mengadaptasi dan meminjam wayang sebagai sumber inspirasi dan memberi warna pada karya mereka. Sears menyebutnya sebagai 'anggur baru dalam botol lama'. Ia menegaskan bahwa cerita wayang dan pertunjukkan wayang selalu sudah kosong, tengah menunggu untuk diisi lagi oleh pendongeng baru dengan cerita baru. Jadilah wayang semacam blue print yang di atasnya selalu bisa diberi kisah dan pesan-pesan baru.
Tentu saja beragam bentuk karya sastra yang bersumber dari inspirasi dan eksploitasi wayang ini. Yudisthira Ardi Noegraha dengan cerdik mengubah cerita wayang menjadi novel populer yang diminati banyak anak muda. Ia mengubahnya menjadi cerita kaum remaja yang sarat dengan percintaan dan kehidupan remaja. Judulnya saja berhasil mengubah citra wayang yang serius menjadi konyol dan meremaja, seperti Arjuna Wiwaha ha ha, Arjuna Mencari cinta I, II, dan Arjuna droup Out.
Sindhunata setia menggali cerita-cerita wayang sesuai dengan pakemnya, namun diekspresikan melalui Bahasa Indonesia yang indah dan puitis. Jadilah Anak Bajang Menggiring Angin novelnya yang bersumber cerita Ramayana versi Jawa itu, menjadi sebuah novel yang indah, puitis, liris, dan kaya akan metafora baru.
Sindhunata berhasil mentransformasikan keindahan bahasa pewayangan dalam Bahasa Indonesia.dengan sangat memukau. Hal yang sama dilakukan oleh Yanusa Nugraha. Tak hanya merepresentasikan ulang kisah tragik Sumantri dan Sukrasana dalam kisah Arjunasasrabahu, namun ia juga menambahkan tafsiran-tafsiran dan konflik-konflik kejiwaan yang baru sehingga terasa bahwa konflik pengabdian, kesetiaan, dan kepentingan keluarga menjadi sangat universal dan selalu menjadi konflik yang abadi.
Seno Gumira Aji Darma mengeksploitasi cerita wayang dengan cara yang lebih unik. Memilih bahan dari kitab Ramayana tapi dari bagian yang tidak populer yaitu tragedi keluarga Rama setelah perang besar dengan Rahwana.
Seno juga memberi tafsir baru dalam cerita Ramayana. Rama yang biasanya merupakan tokoh hero bagi masyarakat Jawa ditelanjanginya sebagai pemimpin yang tak menghargai kesetiaan, ambisius, haus akan kekuasaan, dan berwatak agresor dan imperialis. Di tangan Seno, cerita-cerita dari parwa terakhir Ramayana menjadi sangat realis. Judulnya pun menjadi sangat menarik : Kitab Omong Kosong.
YB. Mangunwijaya melakukan perluasan jagat wayang ke dalam dunia kontemporer. Dengan kata lain ia meminjam nama tokoh-tokoh wayang, namun nama-nama tersebut mengusung persoalan-persoalan kontemporer seperti persoalan nasionalisme dan perubahan peradaban.
Novelnya Burung-Burung Manyar dan Durga Umayi jelas-jelas merupakan bentuk wayang dalam novel moderen. Ia sengaja mengambil nama-nama tokoh wayang, namun konflik yang disajikan jauh melompati persoalan wayang. Tokoh-tokoh wayang dalam novelnya seperti Larasati, Kakrasana, Durga merupakan pasemon yang menyimbolkan persoalan-persoalan mutakhir Indonesia. Mangunwijaya berhasil menggunakan acuan wayang untuk menjelaskan motif, perilaku, dan konflik kejiwaan tokoh-tokoh protagonisnya.
Lain yang dilakukan Putu Wijaya. Ia berusaha mendekonstruksi kebenaran dalam cerita wayang. Dalam novelnya Perang, cerita-cerita wayang menjadi wahana dan ruang untuk mengejek tatanan sosial dan politik di Indonesia. Putu wijaya melalui novel ini sengaja mengguncang tatanan sosial yang amat hierarki dan menyindir habis-habisan hegomoni politik orde baru. Novel Perang sengaja dibuat Putu Wijaya sebagai sebuah esai tentang sifat dan pelaksanaan kekuasaan.
Apa yang dilakukan Yudhistira Ardi Noegraha, Sindhunata, Yanunsa Nugraha, Seno Gumira, Mangunwijaya, dan Putu Wijaya merupakan upaya-upaya menyegarkan kembali wayang sekaligus memperkayanya dengan makna-makna baru untuk menghasilkan narasi-narasi baru.
Wayang akan tumbuh sebagai bentuk seni dengan paradigma terbuka yang selalu kontekstual dengan konteks sosial Indonesia dan menjadi salah satu bagian dari tradisi sastra Indonesia moderen.***
Tjahjono Widarmanto. penyair dan esais tinggal di Ngawi
Diambil dari Suara karya Online, Sabtu, 29 September 2007
download tulisan ini? Silakan klik di sini
Diambil dari Suara karya Online, Sabtu, 29 September 2007
download tulisan ini? Silakan klik di sini
0 comments:
Post a Comment