(naskah monolog ekspo TSD - Insadha)
Pulang. Kalian pernah pulang? Atau setidaknya pernahkah kalian merasakan rasa rindu pulang sebegitu menggebu, keinginan untuk berada di kampung halaman? Aku pernah mengalaminya, setidaknya kemarin. Kemarin? Ya, kemarin. Kamu tahu apa itu kemarin? Kemarin adalah bukan esok, bukan pula sekarang. Kemarin adalah masa lalu. Masa lalu akan berlalu tanpa meninggalkan jejak atau hanya sekadar sajak ketika kalian tak memaknainya. Oleh sebab itu, aku menceritakan ini pada kalian, supaya masa laluku menjadi sejarah, ya... masa lalu yang kita hargai.
Aku pulang naik kereta, bukan Kereta Kencana seperti dalam dramanya W. S. Rendra, melainkan kereta api. Hm... sudah berabad-abad alat transportasi itu, masih dipakai juga dan tidak jua lekang oleh waktu, malah semakin canggih. Aku hendak pulang ke Solo naik Pramex. Panjang antrian tiket di Lempuyangan Yogya, padahal sebentar lagi kereta akan segera tiba. Ada ibu yang mengomel, dia ingin didahulukan. Huh, memuakkan! Tidakkah dia tahu bahwa dia dan aku dan semua penumpang lainnya adalah sama, maka harus diberi kesempatan yang sama sehingga kami semua harus antri? Tapi, sudahlah. Mungkin ibu itu bukanlah orang yang berpendidikan, atau hanya tidak menyadari kemanusiaan itu sendiri. Lho, apa hubungannya mengantri dengan kemanusiaan?
Kereta tiba sesaat aku mendapatkan tiket. Besi panjang tua itu berdecit di atas besi yang lain, ckiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiit. Pintu pun terbuka dan aku masuk. Penuh?!!! Ini masih pagi!!! Ini juga bukan musim liburan? Apakah selalu seperti ini? Mungkin seperti ini, selalu seperti ini, dan akan selalu seperti ini. Untunglah aku mendapatkan tempat duduk. Aku duduk dekat jendela, duduk menghadap arah yang berlawanan dengan laju kereta. Di samping kananku duduk seorang pria yang tengah asyik mendengkur. Di depannya duduk seorang pria lain tengah asyik membaca warta berita.
Sedangkan di hadapanku duduk dengan tenang seorang wanita. Wajahnya cantik luar biasa. Dilihat dari model pakaiannya, wanita itu adalah pegawai kantor. Mungkin seorang sekretaris. Dia sedang menelpon. Sepertinya dia sedang ada janji dengan seseorang yang sudah akrab dengannya di kota Solo.
“Halo... iya. Saya masih berada di atas kereta nih. Nanti tolong jemput saya di Stasiun Purwosari Solo, ya. Iya... iya... nanti saya tunggu di peron. Atau, kamu yang menunggu di peron? Pukul tujuh kurang sepuluh saya tiba di sana. Ya, nanti kita sarapan di Adem Ayem sembari membicarakan bisnis kita. O... tentu... tentu ada servis tambahan bagi pelanggan setia seperti Anda. Ok. Sampai jumpa.”
Setelah selesai menelpon, dia memejamkan mata dan tidur.
Kami semua duduk berdekatan, tapi sebenarnya kami saling berjauhan. Kami memang berada dalam satu ruangan gerbong kereta, tetapi kami memiliki dunia kami masing-masing. Pria di samping kananku tengah tidur, tengah asyik dengan mimpi-mimpinya. Pria di depannya itu tangah asyik membaca koran, tenggelam dalam berita-berita kelam dari negeri kita tercinta. Wanita di hadapanku juga tidur, wajahnya semakin menggemaskan sewaktu terlelap. Sedangkan aku? Aku mengamati mereka. Aku mengamati seisi gerbong. Aku mengamati pemandangan di luar jendela; ada bukit, ada lembah, ada sawah. Aku mengamati sekelompok bocah berseragam sekolah putih merah mengendarai sepeda berhenti menanti keretaku lewat. Aku mengamati. Mengamati. Dan, kemudian aku bertanya... mengapa... apa... apa... mengapa... .
Perjalanan ini seperti hidup itu sendiri. Hanya bedanya dalam perjalanan ini aku tahu ke mana aku akan pergi, pulang ke kotaku yang baru saja kemarin kutinggalkan. Sedangkan hidup? Tahukah kamu ke mana hidup berjalan? Tidak ada yang tahu dengan pasti. Satu hal yang pasti... hidup mengarah kepada kematian. Aku akan mati. Gadis cantik di hadapanku itu akan menjadi tua, keriput, dan mati. Pria yang tengah asyik membaca koran itu akan mati. Pria yang tidur di sampingku akan mati. Aku akan mati. Kamu pun akan mati. Pacarmu mati. Orang tuamu mati. Temanmu mati. Musuhmu mati. Tetanggamu mati. Dosenmu mati. Setiap hal yang kita lakukan akan berakhir dengan kematian. Segalanya sia-sia. Setiap detik yang berlalu hanya menyisakan kematian.
Lalu apa gunanya sekolah? Apa gunanya kamu duduk di sini menontonku yang sedang membual? Apa gunanya pula aku menceritakan segenap masa lalu? Jika pada akhirnya kamu, aku, kita semua berakhir dengan kematian?
“Maaf, Mas, masih ada surga... .”
Ya kalau surga itu ada. Bagaimana kalau surga itu tidak lebih dari Neverlanddalam cerita Peter Pan?
“Lalu Tuhan, Mas?”
Ya kalau Tuhan itu ada... . Atau, jikapun ada, apakah Tuhan yang ada dalam pikiranmu secara de iure itu sama dengan Tuhan de facto yang menciptakanmu? Sudahlah, cukup tentang Tuhan. Untuk kali ini aku sedang tak ingin membicarakan Tuhan. Sudah sejak purbakala Tuhan menjadi topik pembicaraan, perdebatan, perselisihan, bahkan alasan percintaan dan pembunuhan.
Jika pada akhirnya kita akan berakhir dalam kematian, lalu buat apa hidup? Buat apa seluruh usaha ini? Buat apa menjalani rutinitas ini? Bangun, sarapan, kuliah, makan siang, kuliah, pertemuan UKM, makan malam, belajar, tidur, bangun lagi... . Dari usia 4 tahun hingga sebesar ini selalu masuk dalam kelas-kelas dan duduk belajar dengan pelajaran yang selalu sama. Membosankan! Segalanya membosankan! Bosan!!!
Mungkin lebih baik jika kalian segera berhenti menontonku, pergi dari sini, pulang ke rumah, dan bilang pada orang tua kalian untuk tak perlu lagi bekerja keras mencari uang demi menguliahkan kalian karena tiada gunanya lagi kuliah, belajar, dan melakukan segala usaha ini. Mungkin ada baiknya jika aku segera mengakhiri omong kosong ini, pergi dari sini, dan meratapi hidupku. Mungkin ada baikya jika kita segera mati lebih dini. Bunuh diri! Ya... ! Bunuh diri! Bunuh diri! Bunuh diri! Bunuh diri! Bunuh diri! Bunuh diri! Bunuh diri!
TIDAAAAAAAAAK!!! Tiada yang lebih bodoh dari pada itu. Tiada yang lebih egois dari pada bunuh diri. Hidup memang absurd, akan menuju kepada kematian, apapun yang kita lakukan. Namun, hidup yang absurd itu bukan untuk diakhiri.
Apakah ada makna? Ada!!! Kitalah yang memaknai. Kita adalah tuan atas nasib kita sendiri. Kita adalah subyek otonom! Kita bebas, merdeka! Kitalah yang menetukan bagaimana kita mati sebagaimana kita menentukan bagaimana kita hidup. Rendra mati sebagai penyair sebagaimana dia hidup sebagai penyair. Mbah Surip mati sebagai penyanyi sebagaimana dia hidup sebagai penyanyi. Chairil Anwar mati sebagai Binatang Jalang sebagaimana dia hidup sebagai Binatang Jalang. Camus mati sebagai manusia pemberontak sebagaimana dia hidup sebagai manusia pemberontak. Søren Kierkegaard mati sebagai manusia yang senantiasa meratapi Regina Olsen sebagaimana seumur hidupnya dia meratapi wanita itu. Nietzsche mati sebagai pembunuh Tuhan sebagaimana sepanjang sisa hidup warasnya dia memproklamasikan Kematian Tuhan. Itulah kemampuan kita sebagai manusia. Lalu Tuhan? Sudah kukatakan sebelumnya, aku sedang tak ingin membicarakan Dia!!! Tapi jika kamu mengaku mencintai Tuhan, cintailah manusia, sebab manusia adalah citra-Nya.
Eksistensi kita sebagai manusia memiliki esensi kemanusiaan. Kemanusiaan itulah yang harus kita manifestasikan supaya hidup kita bermakna sebelum ajal menyapa. Kita memberi makna dalam setiap pilihan hidup kita. Jam-jam kuliah yang membosankan yang telah menanti di hadapan kalian itu adalah salah satu cara pemanifestasian kemanusiaan itu. Kalian menontonku berceloteh di sini juga adalah pemanifestasian kemanusiaan itu. Aku berceloteh di sini pun, setelah berlatih selama berhari-hari, berminggu-minggu, dan berbulan-bulan, adalah pemanifestasian kemanusiaan. Dan, seperti halnya kalian memilih untuk kuliah di Sadhar, mengikuti ekspo ini, masuk ke stand TSD, duduk dan mendengarkan aku menceritakan segala omong kosong ini, begitulah aku memaknai perjalanan singkatku dari Jogja ke Solo kemarin.
Perjalanan itu singkat dan pasti akan segera berakhir di Solo. Dan, aku memberi makna perjalanan itu dengan tidak menyapa mereka yang duduk di dekatku, tetapi hanya dengan mengamati mereka. Sesampainya di Solo... aku pulang. Berkali-kali aku melakukan perjalanan Jogja-Solo dan setiap perjalanan pulang itu selalu bermakna baru bagiku. Itulah sebabnya aku tak pernah bosan melakukan perjalanan itu berkali-kali hampir setiap minggu. Pulang... sebab di sana aku akan lebih dekat dengan jantung hatiku... .
Sarang Kalong, 28 Juli 2009
Padmo “Kalong Gedhe” Adi
Sumber: mediasastra.com
(Catatan: Postingan ini dimaksudkan utk memberi contoh naskah monolog dlm pengajaran di kelas. Semoga contoh ini memberi inspirasi bagi siswa yg sedang mempersiapkan naskah monolog utk ujian praktik. Terima kasih utk Padmo “Kalong Gedhe” Adi dari TSD yg telah memberikan contoh dan inspirasi)
0 comments:
Post a Comment