Suara-Suara Mati
Karya Manuel Van Loggem
Para pelaku
Suami
Istri
Bujang
Sahabat
DEKOR RUANGAN INI MERUPAKAN KAMAR YANG BERNUANSAKAN KEMURAMAN, DENGAN KURSI-KURSI YANG BERAT. RUANGAN INI RUANGAN BACA ‘BIBILIOTEK’ UNTUK AKSEN PRIBADI YANG LEBIH NYATA PADA TOKOH SUAMI. DAN LEBIH PENTING DAPAT MENGGUGAH KENANGAN MASA SILAM DIMANA SAHABAT SERING KALI MENGUNJUNGI TEMPAT ITU. PINTU CUMA SATU DIBAGIAN BELAKANG, SEBAB KELUAR MASUKNYA ORANG-ORANG DALAM DRAMA INI PENTING SEKALI. RUANGAN SANGAT TERATUR DAN PENUH SELERA.
ISTRI
Jadi keluar sendiri lagi kau pak?
SUAMI
Ya, manis! Dan seperti yang kau lihat, dapat juga. Yah, ingin aku sekali-sekali tak perlu dipapah orang lain kalau berjalan. Ingin sekali-sekali aku tinggal sendirian.
ISTRI
Tidakkah kau merasa sakit?
SUAMI
Bukan main! Sekarang pun masih terasa.
ISTRI
Baiklah. Aku tolong kau.
ISTRI MENUNTUN SUAMINYA. PERLAHAN MENUJU KURSI. SUAMI MELETAKKAN TONGKATNYA
SUAMI
Ambilkan surat-surat yang mesti aku kerjakan sekarang. Ingin aku selesaikan sekali.
ISTRI
Tidakkan lebih baik kau tangguhkan saja?
SUAMI
Tidak! Aku masih punya sisa semangat yang akku kumpulkan untuk berjalan-jalan tadi. Sekarang ingin kuhabiskan.
ISTRI
Banyak yang dikerjakan?
SUAMI
Hanya beberapa surat yang masih harus kutandatangani. Lainnya sudah kuselesaikan.
(Istri mengambil pulpen dari dalam saku baju suaminya dan memberikannya pada tangan kiri, kemudian dikeluarkan surat-surat dari dalam map)
ISTRI
Pak, mengapa tak kau kuasakan saja padaku, untuk menandatangani surat-surat itu. kau sakit dan lelah.
SUAMI
Kalau aku yang menuliskan sendiri namaku, bagaimana susah dan jeleknya, maka seolah-olah aku telah memindahkan sebagian dari diriku ke dunia lain. Jelas Nampak dihayalku sendiri, sama-sama rusak dan lumpuhnya. Tapi setidak-tidaknya di luar aku sendiri, Nampak olehku bahwa aku masih dapat menulis, sekalipun dengan tangan kiri. Sekalipun hanya dua kata berturut-turut, lebih tidak. (terdiam sejenak) mau kau membukakan pulpenku?
ISTRI MEMBUKA PULPEN. SUAMINYA MENANDATANGANI SURAT-SURAT DENGAN TANGAN KIRI. SETELAH ITU DIAMATI TULISANNYA DENGAN TERSENYUM
SUAMI(tersenyum)
Aku sendiri tak dapat membaca apa yang aku tulis.
ISTRI
Tak perlu! Kau hanya tandatangan
SUAMI
Tiap kali aku melihat namaku, aku melihat diriku sendiri
ISTRI
Nama tak lain dari suatu janji
SUAMI
Janji yang harus ditepati! (nyata gegetun dengan kekerasannya, kemudian menjadi lembut) maaf. Ini tentu merupakan siksaan yang beat bagimu, bahwa kau harus memelihara aku seperti anak kecil.
ISTRI
Anak kecil!? Pak, jangan katakan itu!
SUAMI
Ya, anak kecil memang harus dipelihara baik-baik. Tapi ini sungguh tidak adil, bahwa kau mendapat kebobrokan tua Bangka ini (seraya menunjuk dirinya) untuk kau pelihara
ISTRI (keras)
Tida! Tidak! Itu sudah kewajibanku!
SUAMI (Tersenyum mengejek campur iba)
Kewajiban!? Seperti kita sudah kawin lama saja. Padahal baru dua tahun. (diam sejenak) dulu aku sehat. Cuma agak terlampau matang barangkali, di samping keremajaan yang masih hijau. Tapi dulu aku mempunyai anggapan, bahwa orang membutuhkan dua umur perempuan untuk mengisi umur satu laki-laki. Kiranya bagiku tak sampai memerlukan perempuan keduan, sebab yang pertama saja sudah using jiwanya olehku.
ISTRI
Waktu kita kawin, aku tidak menganggap kau tua
SUAMI
Persis dua kali umurmu. Perkawinan kita ini sudah menjadi rumusan ilmu pasti dengan hasil salah. Du kali satu: nol
ISTRI
Kau pasti akan sembuh lagi pak, waktu kita kawin kau masih sehat.
SUAMI
Akan sembuh dan bertambah tua. Kita perlahan-lahan tumbuh saling mendekati akhirnya mencapai titik pertemuan kalau sudah tidak mempunyai arti lagi. Hari tua tak mengenal perbedaan umur lagi.
ISTRI (berdiri)
Ada orang mengetuk pintu
KETUKAN INI SEBENARNYA TIDAK ADA
SUAMI (melihat jam tangan)
Kau salah dengar. Ia tentunya belum datang. Biasanya ia selalu tepat pada waktu yang dijanjikan.
ISTRI
Tapi aku serasa mendengar sesuatu
SUAMI
Mendengar sesuatu? Seperti pekan lalu?
ISTRI (terkejut, gelisah)
Tidak! Tidak! Bukan itu! maksudku ketukan pintu!
SUAMI
Tak ada ketukan pintu. Badanku lumpuh tetapi pendengaranku masih baik.
ISTRI (gelisah)
Mungkin aku keliru, sangkaku bunyi pintu. Tapi aku salah dengar?
SUAMI
Orang yang mengalami sesuatu mungkin bisa keliru. Di dalam dan di luar manusia itu ada suara. Soalnya, apakah orang lain juga mengalamai hal yang sama?
ISTRI
Sudah! Sudah! Jangan mulai lagi!
SUAMI
Apa yang kau dengar?
ISTRI
Pintu. Tapi aku keliru! Sudahlah.
SUAMI
Aku hanya ingin menolongmu. Tapi untuk itu perlu berterus terang, yang disembunyikan akan menjadi busuk. Aku ingin menyembuhkan.
ISTRI
Aku tidak sakit pak…
SUAMI (perlahan, tetapi dengan tekanan)
Kau dengar lagi anak menangis?
ISTRI
Tidak! Tidak!
SUAMI
Jangan disembunyikan, aku ingin menolongmu. Waktu berjalan terus tanpa kata. Apa yang sudah lalu kau dengar sekarang. Kau ketinggalan sendiri di masa silam. Kau harus mengejar kami. Jangan tinggal di sana. Anak itu sudah mati, sudah lebih dari satu tahun.
ISTRI
Jangan usik soal itu lagi!
SUAMI
Kau sudah ketinggalan wakktu lebih dari satu tahun
ISTRI
Aku dengar tangis anak itu. aku bersumpah! aku dengar!
SUAMI
Yang baru-baru ini kau pungkiri juga. Setelah lama barulah kau mengaku. Itu bagus sekali. Tandanya kau sadar akan kesendirianmu. Sendirian dalam waktu, dengan kenangan sebagai dunia sekitarmu. Kau harus lekas-lekas kembali, sebab kami terus maju. Jarak waktu antara kau dan kami semakin jauh.
ISTRI (kehabisan tenaga)
Sudahlah! Sudah! Aku tidak mendengar
SUNYI BEBERAPA SAAT, SUAMI BERDIRI DAN BERJALAN DENGAN SUSAH PAYAH MENDEKATI POTRET KECIL, POTRET SEORANG ANAK BAYI, YANG BERADA DI ATAS LEMARI BUKU
SUAMI
Untunglah aku sudah membuat potret ini. Sekarang aku tak dapat membuatnya lagi. Tanganku tak kuasa lagi memegang alatnya. Tapi potret ini kubuat, dulu ketika anak ini baru lahir, belum dapat dikenali wajahnya, belum dapat dikenal mirip siapa wajahnya. Saying tak lama kemudian meninggal. (Tiba-tiba berpaling pada istrinya dengan pandangan tajam) ingatanku mulai tumpul. Bukankah kata dokter, anak itu mati lemas karena mukanya telangkup ke bantal?
ISTRI
Aku harap jangan bicarakan itu lagi!
SUAMI
Begitu kata dokter, bukan!?
ISTRI
Ya!
SUAMI
Tak seorang pun dapat berbuat apa-apa. Tak seorang pun bersalah!
ISTRI (Tak bernada)
Tak seorang pun!
SUAMI KEMBALI MENEKUNI POTRET SERAYA TERMENUNG
SUAMI
Dengan membuat potret ini, seolah-olah aku telah merampas hidupnya. Aku bangga sekali dengan anak ini. Masih ingat kau? (istri diam membuang muka) bangga bercampur takjub. Bangga karena kenyataan sekalipun keadaanku begini, masih dapat punya anak. Boleh dikata suatu keajaiban. Kelahiran dari cipta. Seperti dalam dunia wayang saja. Indrajid lahir karena kekuatan cipta.
(Pintu diketuk orang, istri terkejut. Suami melihat jam tangannya) pintu diketuk orang?
ISTRI
Aku tak dengar!
SUAMI
Itu salah! Mestinya kau dengar apa-apa. Tapi pintu diketuk orang. Ia datang terlalu pagi, tapi tak mengapa. Kita boleh bergembira, bahwa satu-satunya sahabat kita masih tinggal mengukur waktunya dengan hasrat dan bukan dengan jamnya. Suruh dia masuk. Tentu kau senang melihat dia kembali (Istri berdiri lurus saja tak bergerak)
ISTRI
Aku…. tidak senang!
SUAMI (tajam)
Masukan dia!
ISTRI PERGI, SUAMI KEMBALIKAN POTRET, TETAPI LANTAS DIKEMBALIKAN PADA TEMPAT SEMULA. LALU ISTRI DAN SAHABAT MASUK. SUAMI MENYAMBUT DENGAN SUSAH PAYAH DENGAN ULURAN TANGAN KIRINYA, KEMUDIAN KEMBALI DUDUK KE KURSINYA
SAHABAT
Bagaimana dengan keadaan badanmu?
SUAMI
Semakin buruk, kepala tinggal menunggu apa yang dilakukan oleh badan. Pikiranku masih terang, itulah yang malah membuat aku susah. Serasa badanku dibelit ular sampai remuk, tapi kepalaku taka pa-apa, hingga aku dapat menyangsikan semua dengan terang.
SAHABAT
Apa kata dokter?
SUAMI
Dokter, aku sudah tidak pakai lagi. Sudah sering ebrganti, tetapi mereka tak dapat menyembuhkan. Kata mereka, penyakitku ini akan hilang dengan sendirinya. Sekarang aku tak mau melihat mereka lagi. Dengan begitu mereka pun tak akan dapat memberikan aku harapan-harapan palsu lagi. Sekarang aku bersikap tak peduli (sahabat berpaling pada istri)
SAHABAT (dengan lembut)
Dan kau, apa kabarmu?
ISTRI
Baik! Cuma kepalaku agak pening!
SUAMI (kepada Sahabat)
Aku ingin bicara dengan kau tentang dia. Barangkali kau dapat member pertimbangan. Saying akhir-akhir ini kau jarang sekali datang.
SAHABAT MENJAWAB SUAMI, TAPI DENGAN MEMANDANG ISTRI
SAHABAT
Akhir-akhir ini aku mendapat kesan, bahwa kedatanganku tak begitu dapat sambutan seperti dulu-dulu
Istri memandang jurusan lain
SUAMI
Itu Cuma perasaanmu saja. Tapi aku yakin, pasti bukan aku yang menimbulkan kesan itu, aku senang kalau kau datang (Diam sejenak) Aku tahu, bahwa antara kita ada terjalin satu ikatan, ikatan yang melebihi persahabatan semata.
SAHABAT
Begitu memang!
ISTRI (terkejut)
Tidak!
SAHABAT
Bukankah sudah waktunya sekarang berterus terang?
SUAMI
Selamanya memang lebih terang, kalau berterus terang.
SAHABAT
Nah, mulailah! Mengapa kau telepon aku suruh datang kemari? Mengapa kau minta aku datang tepat pada waktu yang kau tentukan?
ISTRI
Dia menelpon? (kepada suami) aku tak tahu pak, mengapa ta kau atakan padaku. Katamu dia akan datang seperti dulu-dulu. Tapi kau tidak minta dia datangkan!?
SUAMI
Aku ingin pulih kembali persahabatn kita dulu. Kita dulu mengalami bersama saat-saat yang menyenangkan, kita bertiga dekat sehabis perkawinan kita. Persahabatan yang jarang terjadi, sudah merupakan tri tunggal (kepada sahabat) dan ketika kau tak datang-datang lagi, entah apa sebabnya aku tak tahu, maka di rumah ini lalu menjadi sepi. Dapat kau pahami, bukan? Seorang yang lumpuh, seorang istri cantik yang muda ini, membawa kekakuan, membawa kesepian. Dan dalam kesepian lantas tumbuh suara-suara aneh yang mengacauan alam pikiran. Sebab itu uminta kau datang, sahabat. Kau sebagai satu-satunya suara hidup untuk melawan suara-suara mati dalam kesepian kami.
SAHABAT
Apa maksudmu? Suara-suara mati? Aku menjadi curiga padamu!
SUAMI
Orang cacat selamanya dicurigai. Ya, mereka adalah musuh-musuh yang dijelmakan dari perasaan takut orang-orang waras.
SAHABAT (mengancam)
Apa suara-suara mati itu?
Sunyi seketika, suami memasang telinga, suara pintu diketuk orang
ISTRI (memekik)
Tidak! Aku tidak mendengar apa-apa!
SUAMI
Ssttt! Pintu diketuk orang?
ISTRI
Aku tak dengar apa-apa!
SUAMI (melihat jam)
Pengantar pos. datangnya mesti tepat waktu begini. Tadi kuminta bujang segera membawa surat-suratnya kemari.
BUJANG MASUK DENGAN MEMBAWA SURAT-SURAT YANG DIULURKAN KEPADA ISTRI
BUJANG
Ada surat buat nyonya!
ISTRI TAK BERGERAK. BUJANG MASIH BERDIRI DENGAN TANGAN TERJULUR
SUAMI
Itu… ada surat untukmu!
ISTRI MENDEKATI BUJANG, PERLAHAN-LAHAN SEPERTI DALAM MIMPI DAN DENGAN ACUH TAK ACUH MENGAMBIL SURAT. BUJANG LANTAS KELUAR LAGI. ISTRI TINGGAL BERDIRI SAJA. TANGANNYA LURUS KE BAWAH. SURAT ITU DIPEGANGNYA TANPA DIBACA
SUAMI
Mengapa kau berdiri saja?
SAHABAT
Ada apa? Dari siapa surat itu?
ISTRI (tak bernada)
Dari kau!
SAHABAT (tersentak)
Apa maksudmu?
ISTRI (masih tak bernada)
Setahun lamanya kau tulis surat padaku. Aku tak berani membicarakan soal itu dengan kau. Cuma aku memberikan isyarat agar kau dapat merasa. Itulah sebabnya kau merasa di sini tak lagi dapat sambutan baik seperti dulu-dulu. Kini sudah waktunya berterus terang seperti katamu tadi. Baiklah aku senang sekarang, tak perlu lagi harus bersembunyi. Cuma aku tak mengerti, mengapa kau siksa aku dengan surat-surat itu.
SAHABAT (pada suami)
Apa artinya semua ini?
SUAMI
Suara-suara mati! Ia mendengar suara-suara itu. dan kini ia melihat isyarat-isyarat mati.
ISTRI (seraya memerlihatkan surat)
Tapi toh surat ini ada padaku. Aku kenal tulisan ini seperti aku kenal tulisanku sendiri. setahun lamanya aku menerima surat-surat dengan tulisan ini. Mula-mula sesaat setelah matinya anak itu.
SAHABAT
Tapi mengapa kau sangka aku yang menulis?
ISTRI
Sebab hanya kau yang tahu apa yang tertulis di dalamnya!
SAHABAT MEREBUT SURAT DARI TANGAN ISTRI
SAHABAT
Berikan surat itu (melihat suami) aku tidak menulis surat itu!
ISTRI
Namamu memang tidak kau tuliskan, tapi Cuma kau yang tahu apa isinya
SAHABAT
Aku berani bersumpah bukan aku yang menulis surat ini!
ISTRI
Surat-surat yang lain pun tak pernah kau tanda tangani
SAHABAT
Aku tak pernah menyurati kau! Aku tak akan berani! Aku takut… ya, aku takut akan membuka rahasia sendiri kalau aku menulis surat betapapun aku sudah berhati-hati.
ISTRI
Dalam hati akupun bertanya-tanya, mengapa begitu sampai hati kau melakukannya. Semula aku menangis karenanya, karena kekejamanmu. Tapi kemudian ketika aku mulai berpikir, bahwa aku mungkin benar maa mengertilah aku, bahwa kau harus membenciku.
SAHABAT (memegang bahu Istri)
Apa yang kau katakan itu? demi Allah, katakan apa yang telah terjadi!
ISTRI MELEPASKAN DIRI DARI PEGANGAN SAHABAT LALU PERLAHAN MENUJU KE DEPAN SERAYA MENGUCAPKAN YANG BERIKUT, SEPERTI BICARA PADA DIRI SENDIRI
ISTRI
Mula-mula ada perlawanan, perlawanan karena tak percaya, karena keyakinan dalam dirimu. Kau mulai tahu bahwa tuduhan-tuduhan itu bohong oleh kepastian pengalaman. Tapi apa yang terjadi sebenarnya, tak dapat diikuti lagi. Kebenaran itu terletak di masa silam dalam dirimu Cuma kenangan padanya. Lalu kenangan itu perlahan disinggung. Lama kelamaan kau terlepas dari masa silam, sampai pada saat kenangan itu membentuk kehidupannya sendiri. dan runtuhlah kepercayaan pada apa yang kau ketahui. Mula-mula kau lawan kesadaran ini. Tapi sudah tidak ada lagi sisa-sisa kepastian yang tinggal. Dan kekuatan dalam dirimu pun menjadi liar
SERAYA MENATAP DENGAN PANDANGAN REDUP KE SEKITAR. SEAKAN-AKAN HENDAK MENGUJI KEJADIAN-KEJADIAN DI MASA SILAM PADA BENDA-BENDA DI DALAM KAMAR
Benda-benda di sekitarmu mulai kehilangan kemesraannya, soal yang paling remeh menjadi saing dan memuakkan dan mendorong kau menjauhinya. Meja dan ursi dalam kamar, pohon-pohon di jalan, mega-mega dilangit. Semuanya menarik diri darimu, mereka jadi samar-samar mengandung rahasia. Itulah yang member kesepian yang tak tertangguhkan lagi. Dan bayang-bayang yang timbul dalam dirimu penuh dengan dendam dan benci.
PADA KALIMAT BERIKUTNYA, SEBENTAR ISTRI MELIHAT PADA SAHABAT YANG MEMERHATIKAN DIA DENGAN PENUH RAWAN DAN KASIH. SUAMI MENGIKUTI PANDANGAN MEREKA ITU. PADA MUKANYA TERBACA PERASAAN SAKIT HATI, PUTUS ASA DAN DENDAM YANG BERKOBAR-KOBAR KARENA KESEPIAN YANG DILONTARKAN OLEH ISTRINYA
Yang menjadi teka-teki bagiku ialah, mengapa manusia itu mesti menjadi musuh dirinya sendiri? mengapa dalam satu tubuh bersarang harapan damai bersama dengan kekuatan yang membawa kebinasaan. Dan lambat laun kau tenggelam dalam kesangsian, dalam ketakutan…dalam ketakutan, dalam kesamaran dan keasingan!!
Kadang-kadang, serasa ada dinding yang membelah badanku menjadi dua, disisi kanan aku dapat berpikir, mengetahui, melihat keadaanku, mengikuti masa silam dengan keyakinan yang pasti. Tetapi di sisi kiri segala tumbuh dalam diriku, kecemasan, baying-bayang yang serba samar. Sedang akalku tak kuasa menembus dinding itu.
(seolah-olah sudah kehabisan napas)
Kadang-kadang, serasa akal memukul-mukul seperti hendak melepaskan diri, tetapi dindingnya terlalu kuat. Aku tahu aku hidup dalam kebohongan, tapi kebohongan itu sangat kuat menguasaiku. Ada sebuah dinding yang membatasi antara aku dan suara anak itu menangis. Aku tidak dapat meneliti dari sisi dinding sebelah mana datangnya suara itu.
SAHABAT
Kau mendengar anak menangis?
ISTRI
Ya. Tangis anakku, anakku yang telah mati (seraya menunjuk suaminya) dia, dialah yang memeringatkan aku terhadap suara itu. dialah yang mula-mula mendengar tangis itu, kemudian disampaikan kepadaku (Diam sejenak) kemudian datanglah kesangsian itu, kemudian suara itu.
SESAAT SEPI MENCEKAM
SUAMI
Kasihan (pada sahabat) tidak benar! Tidak benar, bahwa aku yang mulai mendengar suara itu. itu hanya angan-angan saja. Tak dapat disesali dia.
ISTRI
Bersamaan waktunya dengan itu datanglah surat-surat itu, surat-surat yang berisi tuduhan. Surat dari satu-satunya orang yang sebenarnya dapat menolong aku. Surat dari kau! Oh, alangah kejamnya. Kejam! Bahwa datangnya dari kau. Bahwa kau menuduhku!
SAHABAT
Apa yang telah kutuduhkan padamu?
ISTRI
Bahwa aku telah membunuh anakku (sunyi senyap)
SAHABAT
Itu tidak benar!
ISTRI
Di sisi kanan kebenaran, di sisi kiri dosa dan di tengah-tengah dinding. Tiap-tiap manusia selalu ada perasaan dosa yang masih samar-samar, masih mencari dasar. Kaulah yang member dasar itu dengan surat-suratmu!
SAHABAT (seraya menunjuk surat)
Jadi kau anggap aku yang menulis surat itu?
ISTRI
Ya!
SAHABAT
Boleh aku membacanya?
ISTRI
Boleh, nanti kau akan melihat dirimu sendiri seperti di dalam cermin.
SAHABAT MEROBEK SAMPUL SURAT, SURAT DIKELUARKAN LALU DIBACA
SUAMI
Apa isinya? (sahabat lama memerhatikan suami dengan pandangan curiga)
SAHABAT (geram)
Kau pembunuh!
SUAMI (menyindir tajam)
Aku? Aneh sekali! Boleh aku melihat?
SAHABAT MELEMPARKAN SURAT KEPADA SUAMI. SUAMI DENGAN SUSAH PAYAH MEMUNGUTNYA DI LANTAI
SUAMI
Kau salah baca. Sudah kusangka. Di sini tertulis “Ibu pembunuh”
ISTRI
Aku? Oh, lain tidak?
SUAMI
Tidak
SAHABAT (kepada Istri)
Mesti ada yang mengetahui tentang anak kita. Ya, aku tak mau membisu lebih lama lagi. Kau tahu, bahwa aku cinta padamu. Jadi tak mungkin aku yang menulis surat-surat itu. surat ini pun tidak! Aku tak berubah. Aku tak menulis surat-surat itu, percayalah! Percayalah!
ISTRI
Aku mau percaya padamu. Aku pun tak inginkan bukti apa yang kau katakan sudah cukup. Hanya karena kau yang mengatakan. Kalaupun aku melihat sendiri kau yang menulis aku pun akan percaya juga. Sebab aku mau percaya dinding dalam diriku yang membatasi antara bukti dan harapanku.
SAHABAT
Aku berhak atas dirimu. Aku tak sudi lama lagi dipaksa melepaskan kau karena belas kasihan.
SUAMI
Jangan hiraukan aku!
SAHABAT (kepada Istri)
Lingkungan ini tak baik bagimu, kau harus pergi dari sini. Kubawa kau dari sini, hawa sekitar sini sudah busuk, cahaya di sini sudah beracun. Kau tak bebas bernapas. Ikutilah aku.
SAHABAT MEMEGANG LENGAN ISTRI. ISTRI TIDAK MELAWAN
SUAMI
Tidakkah kau minta diri dulu dariku?
SAHABAT PUN MENDEKATI SUAMI TANPA MELEPASKAN LENGAN ISTRI. SUAMI BANGKIT DARI URSINYA DENGAN SUSAH PAYAH DAN BERDIRI DI HADAPAN MEREA. KETIGA ORANG ITU SEKARANG BERDIRI DEKAT POTRET BAYI DI ATAS LEMARI BUKU
SUAMI
Aku harus tinggal di sini. Aku ta dapat meninggalkan dia. Aku tahu betapa berat penanggunganmu. Seorang yang tak patut mendapat kasih. Seorang pincang dan lumpuh seperti aku ta sepatutnya berkumpul dengan orang yang hidupnya tanpa cacat, sebab ia Cuma menghalangi kebahagiaan orang lain saja, sering aku berpikir apakah tidak lebih baik kalau aku memutuskan untuk melepaskan kau dariku. Syukurlah kini sudah ada orang ketiga yang mau melakukannya. Pergilah kau bersama dia. Malapetaka yang kusebar, kini sudah seperti penyakit, semakinlama semakin payah, tidak menjadi berkurang. Dan hidup yang kutempuh sekarang ini sudah tidak memberikan bahagia. Aku hanya dapat menebusnya dengan kematianku.
SAHABAT (dengki)
Sayang!
ISTRI
Untung tak ada lagi anak yang akan mengikat kau! Barangkali di luar rumah ini kau pun tak akan mendengar tangisnya lagi!
ISTRI MELEPASKAN DIRI DARI PEGANGAN SAHABAT
ISTRI
Aku berterima kasih padamu bahwa selama ini kau telah banyak berkorban untukku. Tapi aku mohon jangan coba kau bujuk aku. Aku tahu lebih pasti bahwa aku mesti tinggal padanya daripada hasratku ikut bersamamu.
SAHABAT MELANGKAH MAJU KEPADA SUAMI DENGAN MENGANCAM
SAHABAT
Aku dapat menghajar kau jahanam! Kau jerat dia di sini! Kau bunuh dia!
SUAMI (tersenyum)
Aku Cuma seorang yang malang, yang lumpuh. Ku maafkan kau!
SUAMI LUPA DISEBABKAN KARENA KEMENANGANNYA. SUAMI MENGULURKAN TANGAN KANANNYA. SAHABAT TAK MENYAMBUT ULURAN TANGAN ITU, IA MEMBELAKANGI. TERPIKIR SEJENAK, TIBA-TIBA CEPAT IA MEMBALIKAN BADANNYA KEMBALI
SAHABAT
Jarimu kena tinta!
SUAMI CEPAT MENARIK TANGANNYA, ISTRINYA MELIHAT TANGANNYA SENDIRI, KEMUDIAN MENGHAMPIRI SUAMINYA, MEMEGANG TANGANNYA
ISTRI
Tinta? Aneh sekali! Coba lihat!
SUAMI (berteriak karena rahasianya terbuka)
Pergilah bersama dia! Tinggalkan aku sendiri!
SUAMI CEPAT MENARIK TANGANNYA DAN JATUH. DALAM USAHANYA MENCARI PEGANGAN PADA LEMARI BUKU. TANGANNYA MENYINGGUNG POTRET BAYI HINGGA JATUH PULA KE BAWAH. HENDAK DITANGKAPNYA POTRET ITU, TAPI SIA-SIA DAN POTRET ITU BERANTAKAN DI LANTAI. DALAM PADA SAAT ITU, ISTRINYA MENJERIT
ISTRI
Ia…. Ia bergerak!
SAHABAT PERLAHAN-LAHAN MENDEKATI SUAMI DENGAN SIKAP MENGANCAM
SAHABAT
Tanganmu dapat bergerak. Tangan kananmu kena tinta! Kau apakan dia!
(seraya menunjuk istri) kau apakan anaknya!?
SUAMI BERDIRI TEGAK DENGAN MUDAHNYA. IA TAK LAGI LUMPUH. KAKINYA MENYAMBAR POTRET. TANGANNYA MENUDING ISTRINYA
SUAMI (penuh kebencian dan sombong atas kemenangan)
biar dirasakan siksaanku sebelum yang kalian terima di neraka!
SAHABAT (Seraya menarik bahu istrinya)
Mari! Ikutlah denganku! Biar dia menghukum perbuatannya sendiri.
ISTRI
Tunggu dulu (melepaskan bahunya) diam! Diamlah!
KEDUA LAKI-LAKI SALING BERPANDANGAN PENUH KEHERANAN
ISTRI
Oh, tak dengarkah kau? Tak dengarkah? Anakku menangis! Anakku menangis! Anakku menangis!
LAMPU DIPADAMKAN LAMBAT LAUN. PADA SAAT KESEPIAN MENYUSUL
0 comments:
Post a Comment